Oleh: Lalu Habib Fadli (Bang Abi) – Tokoh Pers Nusa Tenggara Barat
Gubernur NTB, Dr. H. Lalu Muhammad Iqbal dalam apel perdana usai Idul Fitri 1446 Hijriyah, Selasa (08/04/2025) menegaskan komitmennya untuk membangun sistem meritokrasi dalam birokrasi provinsi. Pesannya jelas: ”Orang yang tepat harus berada di tempat yang tepat.” Prinsip ini terdengar ideal, tetapi bagaimana implementasinya di dunia nyata, terutama di Indonesia yang masih sering terjebak dalam budaya KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme) dan jual beli jabatan?

Meritokrasi vs KKN: Pertarungan yang Tidak Seimbang?
Di banyak daerah, penempatan pejabat sering kali lebih dipengaruhi oleh faktor politik, kedekatan, atau transaksi finansial daripada kompetensi. Akibatnya, banyak posisi strategis diisi oleh orang yang tidak mumpuni, menghambat pembangunan, dan merugikan masyarakat.
Gubernur Iqbal berani menyentuh hal ini dengan menolak ”cara-cara lama”, yang bisa diartikan sebagai praktik nepotisme atau penunjukan berdasarkan loyalitas semata. Jika benar-benar dijalankan, ini bisa menjadi angin segar bagi NTB. Namun, tantangannya besar karena meritokrasi sering berbenturan dengan kepentingan politik dan budaya feodal yang masih kuat.
Orang Tepat di Tempat Tepat: Mimpi atau Kenyataan?
Konsep meritokrasi sebenarnya bukan hal baru. Di negara-negara dengan tata kelola baik, seperti Singapura atau Finlandia, kinerja birokrasinya tinggi karena SDM diseleksi secara ketat berdasarkan kemampuan. Namun, di Indonesia, meski sudah ada sistem seleksi terbuka, praktiknya masih sering dikalahkan oleh main belakang.
Jika Pemprov NTB serius dengan meritokrasi, beberapa langkah krusial harus dilakukan:
• Transparansi Rekrutmen – Sistem seleksi harus benar-benar terbuka, diumumkan ke publik, dan diawasi independen.
• Penilaian Berbasis Kinerja – Promosi atau rotasi jabatan harus berdasarkan prestasi, bukan senioritas atau kedekatan.
• Pemberantasan KKN – Tanpa penegakan hukum yang kuat, meritokrasi hanya akan jadi jargon.
• Pembinaan SDM – Tidak cukup hanya menyeleksi, tetapi juga perlu pelatihan berkelanjutan untuk memastikan ASN benar-benar kompeten.
Optimisme dengan Catatan
Komitmen Gubernur Iqbal dan Wakil Gubernur Umi Dinda patut diapresiasi. Jika berhasil, NTB bisa menjadi contoh reformasi birokrasi di Indonesia. Namun, sejarah menunjukkan bahwa perubahan seperti ini seringkali menghadapi resistensi dari dalam sistem sendiri.
Masyarakat harus kritis dan mendorong agar janji meritokrasi tidak sekadar retorika. Jika benar-benar dijalankan, NTB bisa melompat lebih cepat dalam pembangunan, karena sumber daya manusia yang kompeten adalah kunci kemajuan.
Kesimpulan:
Meritokrasi bukan sekadar slogan, tetapi revolusi mental birokrasi. Jika Pemprov NTB konsisten, ini bisa menjadi awal perubahan besar. Namun, tanpa dukungan sistemik dan pengawasan publik, ”orang tepat di tempat tepat” bisa jadi hanya mimpi di siang bolong. (*)