Mengulas Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren

Oleh: Andre Safutra dan Yan Mangandar Putra

Secara kelembagaan keberadaan Pondok Pesantren sudah cukup baik diatur dalam Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, ditentukan bahwa Pesantren adalah lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, menyemaikan akhlak mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil’alamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka NKRI.

Selain syarat keberadaan bangunan mushala atau masjid dalam pesantren juga ditentukan adanya pengelola Pesantren yang dilakukan oleh  Kiai, Tuan Guru, Syekh, Buya atau sebutan lain sebagai seorang pendidik yang memiliki kompetensi ilmu agama Islam yang berperan sebagai figur, teladan, dan/atau pengasuh Pesantren. Selanjutnya keberadaan Santri yang merupakan peserta didik yang menempuh pendidikan dan mendalami ilmu agama Islan di Pesantren dengan tinggal di asrama atau lebih sering kita sebut pondok yang kegiatannya melakukan kajian Kitab Kuning atau Madrasah Islamiah dengan pola pendidikan Muallimin.

Kultur dan kekhasan Pesantren tersebut menunjukkan kemuliaan dari tujuan keberadaan pesantren untuk membentuk karakter santri sebagai generasi masa depan yang berahlak mulia ditempat yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anak dari kekerasan dibawah pembinaan seorang pendidik yang merupakan tauladan dengan prinsip nilai-nilai Islami. Namun sayangnya jaminan pelindungan terhadap santri terutama terkait soal penanganan dan pencegahan kekerasan faktanya sangat minim, apalagi dalam prakteknya pondok pesantren terkesan tertutup untuk adanya edukasi terkait kekerasan seksual dan kesehatan reproduksi.

Selama ini di beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pondok pesantren penyelesaiannya dilakukan secara tertutup, misalnya dengan menikahkan Pelaku dengan korban, mengeluarkan pelaku dan korban atau korban sendiri sedangkan pelaku tidak dikeluarkan dari pondok pesantren dengan meminta agar pelaku dan korban serta keluarganya tidak bercerita kepada pihak lain dengan alasan menjaga nama baik pesantren dan selanjutnya pengelola pesantren pun memilih diam atau tidak ada upaya agar bagaimana hal tersebut tidak berulang atau setidak-tidaknya rehabilitasi terutama psikologi korban.

Fakta yang cukup mencengangkan di tahun 2023 di NTB telah terjadi 8 kasus kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren dan sedang di proses hukum, yaitu Mataram 1 kasus, Lombok Barat 3 kasus, Lombok Timur 3 kasus dan Sumbawa 1 kasus yang sebagian besar korbannya hingga puluhan dalam 1 kasus dan sebagian besar pelaku adalah seorang pendidik yang korbannya tidak saja kepada santri perempuan tapi juga laki-laki. Selama ini terungkapnya kasus kekesaran seksual pada santri dan adanya proses hukum kepada Pelaku bukan karena diinisiasi oleh Pengelola Pesantren namun karena kondisi korban yang sudah cukup parah dan pengelola pondok pesantren terkesan acuh yang mengakibatkan keluarganya secara terpaksa melaporkan kasus tersebut ke kepolisian. Modus pelaku dari menggunakan dalih agama, bujuk rayu akan dinikahkan, ancaman nilai hingga ancaman kekerasan kepada korbannya. Contohnya: pertama, kasus yang terjadi di Pondok Pensatren di Lombok Barat yang mana pelakunya adalah seorang oknum mudabbir laki-laki (20 tahun) yang bertugas menjaga kamar asrama didakwa melakukan kekerasan seksual berupa sodomi dan kekerasan fisik terhadap santri laki-laki (14 tahun), kasus ini terungkap karena korbannya bercerita kepada kakeknya dan melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian. Kedua, kasus di Lombok Timur Pelakunya adalah oknum pimpinan pondok pesantren laki-laki (43 tahun) disangka melakukan persetubuhan terhadap banyak korban santri perempuan masih usia anak (dibawah 18 tahun) dari tahun 2022 hingga 2023 dengan modus menggunakan dalih agama, kasus ini pun terungkap karena korbannya bercerita kepada orangtuanya dan melaporkan ke kepolisian.  

Banyaknya kasus kekerasan seksual di lingkup pondok pesantren membuktikan bahwa sulitnya mewujudkan ruang aman bagi anak karena adanya oknum pengelola pondok pesantren yang memanfaatkan relasi kuasa yang berpotensi akan terjadinya kekerasan, apalagi kalo tempat tersebut tertutup dari pengawasan publik dan tidak adanya edukasi  terkait kekerasan seksual. Padahal secara regulasi pelindungan terhadap perempuan dan anak di Indonesia sudah cukup baik dan tegas, misalnya dengan adanya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 dengan perubahan terakhir Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang  Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang ancaman hukumannya untuk pelaku dari pendidik sangat berat dari penjara minimal 7 tahun hingga 15 tahun dan kebiri yang dengan kekerasan atau bujuk rayu serta keterangan saksi 1 orang pun sudah dapat menjerat pelaku.

Begitu pun dengan lembaga layanan pendampingan terhadap korban yang mendukung kerja Aparat Penegak Hukum sudah banyak di daerah baik yang pemerintah maupun NGO dari Pekerja Sosial di Dinas Sosial, UPTD PPA, LPKS, Lembaga Perlindungan Anak, Pusat Bantuan Hukum Mangandar maupun Lembaga Bantuan Hukum lainnya. Ketidakterbukaan pondok dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual justru akan merugikan nama baik pondok itu sendiri dan isu yang berkembang di masyarakat menjadi tidak terkontrol. Begitupun dengan Kementerian Agama dan Pemerintah Daerah melalui Dinas terkait Perlindungan Anak di Propinsi dan Kab/Kota seharusnya ikut bertanggungjawab karena kurangnya pengawasan dan pembinaan terhadap pondok pesantren terkait kekerasan seksual maka kasusnya terus berulang.

Patutnya dengan banyak kasus kekerasan seksual di lingkup pondok pesantren menyegerakan stakeholder terkait seperti Kementerian Agama dan Pemerintah Daerah melalui Dinas terkait Perlindungan Anak di Propinsi dan Kab/Kota dan Pengelola Pondok Pesantren melakukan: Pengecekkan Sanad Keilmuan bagi pihak yang menjadi pengelola terutama tiap pendidik di pondok pesantren, Peraturan Daerah terkait Pesantren harus mengatur Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual ini menjadi penting karena sepatutnya pesantren tidak saja memberi aturan terkait kelembagaan secara struktural tapi juga mencegah adanya oknum melakukan pelecehan, adanya kurikulum yang mengedukasi terkait kekerasan seksual dan kesehatan reproduksi, membentuk Satgas dan SOP Penangahan Kasus Kekerasan Seksual dan terakhir memasifkan sosialisasi UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang juga membahas pemulihan korban lewat restitusi hingga ganti rugi fisik dan psikologis dengan melibatkan lembaga layanan terkait perempuan dan anak baik dari pemerintah maupun NGO dari Pekerja Sosial di Dinas Sosial, UPTD PPA, LPKS, Lembaga Perlindungan Anak, Pusat Bantuan Hukum Mangandar maupun Lembaga Bantuan Hukum lainnya demi memberikan jaminan pelindungan kepada korban dan terwujudnya ruang aman bagi anak dari kekerasan seksual.

Penulis ialah: Pengabdi Bantuan Hukum pada Pusat Bantuan Hukum Mangandar/PBHM NTB

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI