Di Masa pandemi Covid-19, eskalasi laporan kekerasan terhadap anak di NTB secara kuantiatif menurun, namun secara kualitatif menunjukkan peningkatan. Apakah kedua hal diatas terdapat korelasi antara pengetatan interaksi dan pembatasan akses sosial masyarakat ?. Sehingga sebenarnya masih banyak terjadi kekerasan pada anak, namun tidak terdeteksi oleh Aparat Penegag Hukum (APH).
Tidak bisa dihindari bahwa mallpraktik pengasuhan dengan variannya di 10 kabupaten/kota tetap ada. Korbannya adalah anak dan perempuan. Subjek yang dikonotasikan sebagai individu yang bergantung (defendent), lemah dan tidak berdaya. Mereka rentan menjadi korban dari segala bentuk kekerasan yang mengakibatkan kesengsaraan raga, jiwa, martabat atau harga diri.

Di masa Pandemi Covid-19, anak anak juga rentan terpapar virus kekerasan (bullying virus) baik berupa verbal, nonverbal, seksual, diskriminasi dan bentuk lain yang dari keluarga, lingkungan ataupun media mainstream.
Bilamana keluarga dan masyarakat lemah imunitas keilmuan dan pengalaman dalam pengasuhan maka beresiko terhadap tumbuh dan kembang anak. Bisa saja terjadi pembiaran tehadap penyimpangan tersebut dan terus-menerus (persistent). Karena disatu sisi masyarakat masih beranggapan hal tersebut bukanlah sebuah kejahatan. Namun masih dianggap sebagai sebuah kenakalan (delikuensi). Ironis !.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan bahwa bila orang dewasa melanggar hukum, di sebut sebagai kejahatan. Pelakunya disebut penjahat. Sebaliknya bilamana anak-anak melakukan tawuran, genk motor, balapan liar, dan sejenisnya disebut sebagai kenakalan (juvenile delinquency).
Agama dan Kontrol Sosial
Anak dan perempuan bila dilihat dari kesejarahan selalu menjadi korban. Kejahatan dan penyimpangan yang dilakukan atas nama maskulinitas, dilegalkan oleh praktik budaya saat itu (culture deviace). Sebagai contoh, zaman Jahiliyah menganggap anak perempuan yang terlahir, diyakini akan membawa kemudharatan bagi keluarga. Dikubur hidup hidup. Ibu pun tidak dapat melakukan “perlawanan” karena ibu pun dikonotasikan sebagai pribadi lemah dan tidak memiliki kekuatan apapun.
Kejahatan masyarakat jahiliyah saat itu, sebenarnya tidak memiliki basis dan nalar naqli sebagai ruang untuk menyandarkan bahwa perempuan memiliki hak yang sama sebagaimana lelaki. Hanya pretensi logika kultur semata sebagai penguat.
Islam datang melalui kenabian Muhammad. Memproklamirkan bahwa anak dan anak perempuan harus terlindungi dari nashabnya. Muhammad dan Islam hadir sebagai medium dan pembangun tonggak keteladanan yang berpihak pada anak dan perempuan. Nabi Muhammad hadir sebagai agen of control, Islam hadir melalui dalil aqli dan naqli menjadikan perempuan dan anak teristimewakan. Pada konteks inilah peletakan pondasi pertama keberpihakan pada anak dan perempuan.Hingga kini.
Memaksimalkan Keberpihakan Masyarakat
Merujuk https://data.ntbprov.go.id/dataset/jumlah-kekerasan-terhadap-anak-berdasar-jenis-kelamin-tahun-2019. Dimana data tersebut direlease pada 14 Januari 2020 mempublikasikan angka kekerasan terhadap Anak Berdasarkan Umur di NTB, yaitu :

Berdasarkan sumber data lain (mengutip (https://www.facebook.com/yan.mangandarputra/posts). Bahwa pada tahun 2018 kasus kekerasan terhadap anak tersebar di Dompu 95 kasus, Bima 3 kasus dan Lombok Timur 50. Berikutnya tahun 2019 : Dompu 68 kasus, Bima 13 kasus dan Lombok Timur 16 kasus. Sedangkan pada Tahun 2020 : Dompu 76 kasus, Bima 14 kasus dan Lombok Timur 16 kasus, dengan ragam bentuk kekerasan yang mengarah pada pidana.
Hari Anak Nasional (HAN) 2021: Penguatan Soliditas Sosial
Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) Tahun 2021 merupakan momentum membangun solidaritas individu dan kelompok untuk merangkai kesetiakawanan sosial setiap startifikiasi sosial dalam upaya penyadaran logical dan penyadaran praksis bahwa peran peran sosial dan pranata mutlak berkontribusi sebagi benteng pertahanan dan keselamatan anak-anak.
Malpraktik pengasuhan dalam rumah tangga bukan semata kesalahan orangtua. Namun, mengutip teori Emile Durkheim (ahli structural funcionalist) Prancis, pada Abad ke 19 menyebutkan bahwa hubungan sosial masyarakat bagaikan suatu system yang teratur seperti dalam ilmu fisika. Dimisalkan seperti matahari yang selalu terbit di pagi hari dari arah timur dan tenggelam di sebelah barat pada sore hari.
Bilamana ditelisik kejahatan yang menimpa anak dari perspketif Emile Durkheim diatas, maka dimungkinkan akibat tidak teratur dan berfungsinya pranata sosial dan atau hubungan sosial yang berakibat pada munculnya kekerasan dan kejahatan. Penjahatnya pun tidak serta merta disalahkan.
Ketaatan masyarakat dimungkinkan karena kekuatan pengontrol tertentu di lapisan masyarakat (sebut saja pengurus RT, RW, kaling, lembaga adat dll). sebaliknya bila kekuatan-kekuatan pengontrol tersebut lemah, maka dimungkinkan anggota masyarakat akan menjadi pelaku kejahatan atau bertindak kriminal.
#Semoga bermanfaat.
Penulis ialah Dosen Prodi PIAUD FTK UIN Mataram