kicknews.today – Penelitian Setara Institute yang menempatkan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai kota kelima intoleran di Indonesia menuai pro kontra. Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB H Ahsanul Khalik menganggap riset tersebut tidak memiliki dasar dan tidak sesuai fakta di lapangan.
“Variabel dan faktanya tidak jelas penelitian tersebut. Yang jelas tidak ada kita temukan sikap intoleran di Mataram,” tegas Ahsanul Khalik dihubungi, Rabu malam (12/4).
Menurutnya, selama ini sikap masyarakat Mataram terhadap berbagai perbedaan sangat jelas. Jika muncul hal-hal kecil yang mengatasnamakan agama menurutnya, itu lebih pada persoalan oknum yang kebetulan beda agama.
“Kalaupun ada itu persoalan pribadi, tidak bisa dijadikan acuan,” jelas mantan pejabat Pemerintah Kota Mataram ini.
Jika ada yang menyebutkan pernah terjadi kasus 171, kemudian dijadikan rujukan menurutnya, itu tidak tepat. Sebab, itu kasus lama dan sifatnya kasuistis yang untuk saat ini tidak bisa dijadikan variabel hingga menempatkan Mataram sebagai kota intoleran kelima di Indonesia.
“Setelah kasus 171, tidak ada kejadian yang menonjol yang dianggap mengganggu toleransi di masyarakat Mataram,” katanya.
Sejarah keagamaan di Kota Mataram sejak zaman dahulu, terutama Hindu dan Islam sangat baik dan menganut sikap tidak saling mengganggu. Seperti di Cakranegara, misalnya. Umat Hindu, Kristen, Budha, Konghucu dan Islam hidup berdampingan dengan rukun selama beratus tahun. Lantas, hasil riset Setara Institut menyebutkan Mataram kota intoleran diambil dari mana. Menurunya, dasar riset harus diperjelas agar tidak menimbulkan masalah baru.
“Jangan karena hasil riset lalu kita membenarkan, padahal tidak pernah diuji kebenarannya di depan publik. Jadi, hasil riset ini tidak bisa dibenarkan,” jelasnya.
Sebagai mantan Camat Cakranegara, Khalik melihat langsung bagaimana keharmonisan umat beragama di Mataram. Sebagai penganut Islam, ia bahkan pernah didaulat sebagai Ketua Panitia Pawai Ogoh-ogoh Umat Hindu pada tahun 2011.
Budaya kerja dan kebersamaan antar umat beragama di Kota Mataram, masih sangat kuat dan melekat. Seperti pada saat Hari Raya Nyepi, umat Islam menyambut baik bahkan ikut meramaikan pawai ogoh-ogoh. Begitupun saat perayaan Nyepi di semua tempat.
“Ketika ada warga Hindu melaksanakan upacara perkawinan, umat Islam banyak yang jadi panitianya, begitu juga sebaliknya. Makanan-makanan juga dibedakan sesuai pemahaman agama masing-masing. Fakta-fakta ini bisa terbantahkan hasil riset itu,” ungkapnya.
Seandainya penelitian setara institut benar kata Khalik, tentu di Mataram tidak akan melihat masyarakat antar umat bisa melaksanakan ajaran agamanya dengan tenang. Terkait penutupan beberapa rumah ibadah tahun lalu menurutnya, itu bukan penutupan. Tapi karena persoalan izin, dimana terdapat oknum menjadikan ruko atau tempat tinggal sebagai tempat ibadah.
“Penutupan ini juga tidak dilakukan oleh masyarakat, tapi pihak pemerintah kecamatan yang mengimbau untuk menghentikan aktivitasnya,” jelasnya. (jr)