Makelar proyek APBD, borok lama yang tak kunjung sembuh

Gubernur LIRA NTB, Zainudin. (kicknews.today/Ist)

Oleh: Zainudin – Gubernur LIRA NTB

 

Fenomena makelar proyek dalam tubuh pemerintahan daerah bukanlah cerita baru. Ini adalah borok lama yang terus dibiarkan menganga, bahkan diwariskan dari satu rezim ke rezim berikutnya, seolah menjadi “tradisi gelap” dalam pengelolaan keuangan negara di level daerah. Di balik setiap lembaran dokumen APBD yang tampak legal dan rapi, tersembunyi transaksi-transaksi yang tak tercatat secara formal transaksi yang memperjualbelikan proyek demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

 

Makelar proyek bukan cuma persoalan moral, ini adalah pengkhianatan terhadap amanat rakyat. Para makelar itu bisa berasal dari mana saja: oknum legislatif yang punya kuasa mengatur anggaran, pejabat eksekutif yang mengatur jalannya proyek, pengusaha yang bermain di belakang layar, bahkan orang-orang dekat pemangku kekuasaan yang berlindung di balik relasi. Mereka inilah yang menjadikan proyek pemerintah sebagai “ladang panen” pribadi, lewat sistem yang sarat dengan komisi, jatah proyek, dan uang muka tender.

 

Akibatnya? Sangat serius. Proyek-proyek pembangunan yang seharusnya mendorong kemajuan dan mengatasi kemiskinan justru mangkrak, kualitasnya buruk, dan manfaatnya jauh dari yang dibutuhkan rakyat. Lebih buruk lagi, publik dipaksa menelan kenyataan pahit bahwa praktik seperti ini sudah dianggap lumrah dan bahkan ditoleransi. Yang menolak bermain dalam sistem ini biasanya kontraktor jujur akan disingkirkan secara halus atau bahkan dengan tekanan kasar.

 

Mari kita belajar dari apa yang terjadi di Lombok Utara. Baru-baru ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjatuhkan sanksi keras atas praktik persekongkolan tender penyediaan air bersih antara Perumda Air Minum Amerta Dayan Gunung dan PT Tiara Cipta Nusantara (TCN).

 

Denda miliaran rupiah dijatuhkan, tapi yang jauh lebih penting dari itu adalah pelajaran mahal yang terkandung di baliknya: bahwa sistem pengadaan kita masih rapuh, dan praktik curang yang ”dianggap biasa” itu nyata membawa kerugian besar bagi rakyat.

 

Ini menjadi bukti bahwa banyak proyek yang dirancang bukan berdasarkan kebutuhan dan urgensi publik, melainkan untuk mengakomodir kepentingan elite baik elite politik maupun elite bisnis. Dan ini bukan sekadar soal salah perencanaan, tapi juga soal siapa yang “bermain” dalam proses pengadaan, siapa yang ditunjuk, dan siapa yang diberi jatah.

 

Pemerintah daerah, khususnya di NTB, termasuk Lombok Utara, harus mulai berbenah serius. Sudah saatnya kepala daerah menunjukkan keberpihakan nyata kepada rakyat, bukan kepada cukong proyek. Sistem pengadaan barang dan jasa harus diperkuat dibuat transparan, bebas intervensi, dan diisi oleh orang-orang yang benar-benar kompeten dan berintegritas.

 

Namun tak cukup hanya dengan memperbaiki sistem. Aparat penegak hukum juga harus berani menelusuri dan membongkar mata rantai praktik makelar ini hingga ke aktor utamanya. Jangan hanya PPK atau staf pelaksana yang dijadikan tumbal. Bongkar sampai ke atas, sampai ke aktor intelektualnya. Jangan sampai kita seperti kapal yang karam tapi nakhodanya malah lolos dari jeratan hukum.

 

Kalau ini terus dibiarkan, jangan heran jika publik semakin kehilangan kepercayaan terhadap institusi pemerintah. Dan kalau kepercayaan itu hancur, maka tak ada pembangunan yang benar-benar bisa berdiri di atas pondasi keadilan.

 

Penegakan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah adalah cermin rusaknya keadaban pemerintahan. Saatnya kita bersihkan makelar proyek dari APBD sebelum semuanya terlambat. (*)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI