kicknews.today – Di bawah langit biru Nusa Tenggara Barat, dua pulau besar—Lombok dan Sumbawa—berbaring berdampingan dipisahkan oleh Selat Alas, namun disatukan oleh sesuatu yang lebih dalam dari sekadar garis pantai. Ini bukan kisah tentang dua daerah yang saling bersaing, melainkan kisah dua saudara tua yang telah melewati zaman, penjajahan, dan perjuangan bersama.
“Kalau saya ke Sumbawa, saya tidak merasa sedang di luar rumah,” kata Pak Kadri, seorang warga Kediri Lombok Barat yang sejak muda berdagang kain ke Sumbawa hingga Bima. “Kami ini satu darah, satu tanah,”tambahnya dalam seloroh di berugak kampung belum lama ini.

Hubungan erat ini bukanlah konstruksi baru. Dalam lembar sejarah yang sering dilupakan, Lombok dan Sumbawa telah saling mengisi sejak masa kerajaan. Di masa lalu, ketika Kerajaan Selaparang di Lombok mulai berkembang sebagai pusat dakwah Islam, utusan mereka, termasuk Pangeran Prapen dari Demak, melanjutkan misi ke Sumbawa. Di sana, dakwah tidak disambut dengan pedang, tapi pelukan.
Tak hanya dalam hal agama. Dalam urusan politik, nama-nama besar dari Kerajaan Pejanggik di Lombok dan Kesultanan Sumbawa terikat oleh ikatan darah dan aliansi. Pemban Mas Aji Komala, bangsawan Pejanggik, pernah diutus menjadi wakil Gowa di Sumbawa. Jejak pernikahan politik ini membentuk mata rantai yang kokoh antara kedua pulau.
“Kami ini seperti dua sisi dari daun lontar yang sama,” ungkap Lalu Hasbie, budayawan muda Lombok. “Kadang terlihat berbeda, tapi saat diterangi cahaya, bayangannya satu.”
Tak bisa pula melupakan peran Kesultanan Bima yang berdiri sejak 1621 dan memiliki hubungan erat dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi dan Jawa. Islam di Bima menyebar melalui jalur dakwah Kesultanan Gowa, dan pengaruh Gowa turut mempererat hubungan antara Bima dan kerajaan-kerajaan di Lombok. Sultan Abdul Kahir dari Bima bahkan memperkuat aliansi politik dengan menikahi adik ipar Sultan Gowa. Begitu pula Dompu, salah satu kerajaan tertua di Sumbawa, yang tercatat dalam Sumpah Palapa Gajah Mada dan berada dalam pengaruh Majapahit pada abad ke-14.
Pada masa kolonial, Belanda menandatangani perjanjian dengan Bima dan Dompu, menunjukkan pentingnya wilayah ini secara geopolitik. Hubungan elite antara Sultan Muhammad Kaharuddin III dari Sumbawa dan Sultan Muhammad Salahuddin dari Bima menandai adanya konsolidasi kekuatan politik lokal, yang juga beresonansi dengan elite Lombok di masa perjuangan.
Ketika Indonesia merdeka, Lombok dan Sumbawa sempat digabung dalam Provinsi Sunda Kecil. Namun di tengah perubahan itu, semangat untuk membentuk wilayah otonom yang lebih berakar pada budaya dan karakter lokal tumbuh. Bukan hanya dari elite politik, tapi juga dari para guru, petani, ulama, dan rakyat biasa yang ingin melihat anak cucunya hidup dalam provinsi yang merepresentasikan mereka.
Perjuangan itu akhirnya membuahkan hasil pada 14 Agustus 1958, saat Provinsi Nusa Tenggara Barat resmi dibentuk lewat UU No. 64 Tahun 1958. Mataram dipilih sebagai ibu kota, bukan karena Lombok lebih kuat, tapi karena ia lebih strategis. Kesepakatan itu diterima oleh tokoh-tokoh dari Sumbawa dengan kelapangan dada.
Hingga hari ini, kedekatan itu masih hidup di pasar-pasar rakyat, dalam bahasa-bahasa yang bersilang, dalam pernikahan lintas pulau, dan dalam jiwa masyarakatnya. Tapi ketika wacana pemisahan kembali mencuat, banyak yang merasa sejarah ini seperti dilupakan.
“Jangan karena perbedaan jalan berlubang atau sedikit lambatnya pembangunan, maupun kepentingan segelintir elite, kita melupakan bahwa kita pernah berjuang bersama,” kata Bang Harman, tukang pasang gorden yang saban minggu sering kali menyeberangi dua pulau. “Kalau bukan kita yang merawat kebersamaan ini, siapa lagi?”
Maka biarlah tulisan ini menjadi pengingat, bahwa Lombok, Sumbawa, Bima, dan Dompu lebih dari sekadar wilayah. Mereka adalah cerita tentang satu akar, satu rasa. Dan di tengah dunia yang makin terpecah, kisah persaudaraan ini adalah warisan yang patut dijaga. (red.)