Lebaran Topat, Dewi Sri dan Perempuan

kicknews-today – Lebaran Ketupat (Topat) adalah salah satu tradisi masyarakat Sasak yang memiliki perayaan paling meriah, bahkan lebih meriah dari Hari Raya. Tradisi ini dirayakan setiap hari ke-7 setelah perayan Idulfitri. Namun, sampai sekarang belum diketahui sejarahnya secara lengkap. Menurut beberapa sumber, Lebaran Topat berawal dari masuknya Islam ke Lombok pada abad ke-16.

Sejarah Lebaran Topat

Dalam buku sejarah dunia Melayu, Malay Annals (1912), yang ditulis seorang sejarawan Belanda, HJ De Graaf, menerangkan bahwa Lebaran Ketupat  berawal dari perayaan Hari Raya Islam pada masa Kesultanan Demak. Demak yang menggantikan Majapahit, ketika memperluas pengaruhnya ke barat pada awal abad 16 dipimpin Raden Patah yang telah lama mendalami Islam sejak masih kecil (lihat Babad Tanah Jawi).

Dalam eklporasi makna, Graaf menduga kulit ketupat yang terbuat dari janur menunjukkan identitas budaya pesisir. Kesultanan Demak dengan letak goegrafis pantai utara Jawa, di mana ditemukan banyak pohon kelapa. Sedangkan kata ‘lebaran’ mengandung makna ‘selesai’, memaknai selesainya ibadah puasa Ramadhan. Setelah Hari Raya 1 Syawal, hari kedua akan dimulai dengan puasa Syawal sampai hari ke-6, hingga hari ke-7 dirayakan sebagai hari Raya Syawalan.

Berdasarkan folk ethymology, pemahaman yang dipercaya masyarakat bahwa keberadaan Lebaran Topat berasal dari tradisi Jawa. Saat Islam masuk dengan akulturasi budaya lokal yang menganut kepercayaan animisme, Hindu dan Budha sebelum Kesultanan Demak mengganti Majapahit (masa terakhir Majapahit), Islam menjadi mudah diterima maysarakat hingga dengan cepat tersebar luas. Salah satunya adalah dengan Lebaran Topat, perayaan Hari Raya keagamaan dipadukan dengan traidisi budaya lokal yaitu persembahan rasa syukur kepada Tuhan, manusia, dan alam sekitar.

Kulit ketupat dijajakan di pasar Pemenang Lombok Utara saat hari penampahan, Rabu (19/5)

Lebaran Nine (perempuan)

Lebih spesifik, tradisi membuat ketupat diduga sudah ada sejak jaman Hindu Budha di Jawa dan wilayah pengaruhnya hingga Lombok. Ketupat digunakan sebagai persembahan kepada dewa dewi untuk keselamatan hidup. Ketupat sendiri dulunya diangkat dari tradisi pemujaan Dewi Sri (Dewi Padi). Pada masa Jawa Kuno (Majapahit dan Padjajaran), Dewi Sri adalah dewi tertinggi dan kesuburan, pelindung kelahiran dan kehidupan, kekayaan dan kemakmuran.

Dalam buku Wajah Islam Sasak (2014), menjelaskah bahwa Lebaran Topat dalam masyarakat suku Sasak juga dikenal sebagai Lebaran Nine (perempuan) dan Lebaran Idulfitri disebut Lebaran Mame (laki-laki).

Belum ada catatan sejarah pasti mengenai penyebutan istilah ini. Tapi menurut cerita dari mulut ke mulut, disebut demikian agar bisa membedakan kedua jenis Lebaran tersebut. Alasan lain karena Lebaran Topat sebagai kesempatan untuk para perempuan yang mengganti puasanya yang hilang saat Ramadhan akibat menstruasi.

Beberapa sumber lain menyebutkan karena ketupat yang diisi dengan beras adalah erat kaitannya dengan filosifi Dewi Sri, yang dekat dengan perempuan dan kesuburan (hal.38-45). Tentu saja semua penjelasan itu butuh penelitian lebih dalam lagi.

Doc. Lebaran Ketupat di Lombok

Perpaduan agama dan tradisi lokal

Cerita dari para tetua masyarakat Sasak, pada jaman dulu sebelum Islam masuk, ketupat dibuat seperti arak-arakan keliling kampung sebagai persembahan kepada arwah leluhur agar kampung terlindung dari mara bahaya. Bahkan, ketupat juga dibawa ke dataran tinggi seperti daerah pegunungan yang diyakini tempat dewa dewi berada, sebagai ungkapan syukur atas keselamatan.

Di Lombok pada masa itu, peresembahan dibawa ke Sembahlun di mana terdapat Gunung Rinjani. Sunan Prapen putra Sunan Giri (salah satu Wali Songo), tercatat sebagai pembawa misi memperkenalkan Islam ke Lombok (sekitar tahun 1545), di mana mendakwahkan Islam tepatnya di Sembahlun, Lombok Timur (Suparman dkk, 2014: 42). Meski, ada juga versi lain yang mengatakan bahwa Islam pertama kali masuk tepatnya di Bayan, Lombok Utara. Lebaran Topat di Bayan sangat erat kaitannya dengan budaya Islam yang masih kental dengan tradisi Hindu Budha. Kebudayaan Islam di Jawa dan Lombok diwarnai oleh kebudayaan asli setempat, praktiknya disatukan dengan kebudayaan lokal (Schwarz, 1900s; Zuhdi, 2014: 27)

Lebaran Topat yang merupakan perayaan agama Islam dan tradisi lokal semakin kuat dan menjadi kebudayaan masyarakat Islam Sasak. Lebaran Topat dikenal sebagai lebaran adat. Perayaan awalnya di masjid dengan takbir layaknya Hari Raya Idulfitri. Kemudian dilanjutkan dengan ziarah kubur lalu kembalii lagi dengan zikir di masjid. Di mana dalam perayaannya, masyarakat diharuskan membawa ketupat yang nantinya akan dimakan bersama. Dengan adanya perayaan Lebaran Topat, memberikan pengaruh yang baik terhdap praktik ibadah masyarakat, puasa Syawal yang mengandung pahala yang berlipat menjadi semarak dijalankan oleh masyarakat banyak.

Hingga saat ini, perayaan Lebaran Topat khususnya di Lombok menjadi acara yang spesial, dirayakan dengan sangat meriah setiap tahunnya. Mulai dari persiapannya membuat gunungan ketupat lalu dirayakan di pesisir pantai bersama masyarakat banyak. Sehingga sekarang menjadi salah satu destinasi pariwisata budaya yang memiliki daya tarik tersendiri. (Nis)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI