Tentang Lalu Iqbal: Tulisan ke-1
Oleh: Gotar Parra
Kepulangan Iqbal ke kampung halaman (Lombok) dan kunjungannya ke beberapa “titik rindu” adalah hal yang lumrah, untuk melepas kangen, setelah sekian lama meninggalkan “gumi paer” yang telah melahirkan dan membesarkannya. Apalagi mantan Dubes RI untuk Turki ini telah meninggalkan Lombok sejak umur 14 tahun (sejak ia melanjutkan studinya di sebuah pondok pesantren di Solo, Jawa Tengah), agaknya wajar jika ia menyimpan rindu yang menggebu-gebu pada kampung halaman. Walau kemudian ada pihak-pihak yang mengait-ngaitkan kunjungan rindunya ke beberapa titik itu dengan urusan politik (Pilkada Gubernur 2024), tidak masalah juga, kendati tidak sepenuhnya benar.
Setiap orang berhak punya persepsi, dan anggap saja kesan positif tersebut sebagai doa tulus masyarakat untuk seorang putra daerah yang telah mengharumkan nama “Gumi Paer” (Tanah Air) di kancah Nasional dan Internasional. Tak ada yang salah dari kesan dan harapan tersebut. Malah sangat positif. Semakin banyak komponen masyarakat yang memiliki persepsi dan harapan seperti itu (Lalu Iqbal jadi Gubernur NTB), semakin besar pula makna positifnya bagi NTB, karena “kata adalah doa”, kata orang bijak.
Itu jika hendak mengambil makna positif dari anggapan publik tersebut (kendati mungkin terlalu dini/prematur), karena sejatinya kepulangan Lalu Iqbal ke Lombok bukan untuk tujuan “mudik politik”, tapi murni melepas kangen kepada sanak-saudaranya (warga NTB) yang telah berpuluh-puluh tahun ditinggalkannya.
Ekspresi kerinduan kepada sanak-saudaranya dan kampung halaman, serta tradisi leluhurnya itu “sulit dia sembunyikan” lewat sikap atau penampilan, hal itu tampak jelas tergambar dari roman muka dan gesturnya, bagaimana Lalu Iqbal tertegun dan terserap ke dalam alunan irama gamelan yang “menyambutnya” saat berziarah ke Makam Sombe di Sakra, Lombok Timur November 2023 lalu, sehingga tanpa sadar berjongkok hingga puluhan menit di depan para “sekehe” (pemain musik) yang sedang menabuh gamelan di bawah “taring kelansah” (atap daun kelapa) yang dibuat khusus untuk acara malam itu.
Lalu Iqbal “si anak hilang” yang kini telah kembali itu benar-benar “terserap” ke dalam suara gamelan yang seakan membawanya kembali ke masa kecilnya di sebuah dusun yang diterangi lampu teplok bernama Dasan Ketejer. Tak ada aroma bumbu politik di situ, yang menguasai seluruh jiwanya hanya gairah rindu, sehingga ia rela berjongkok puluhan menit di depan alat musik dari tembaga dan perunggu itu.
Ikatan emosinya dengan tradisi dan budaya itu disinggungnya juga dalam acara di pelataran Taman Budaya Nusa Tenggara Barat pada akhir Desember lalu, di mana dia (Lalu Iqbal) ikut serta duduk bersila di trotoar bersama para seniman yang tengah menggelar acara solidaritas untuk Palestina bertajuk “Gaza Tonight”. Pada kesempatan itu Lalu Iqbal menyinggung tentang pentingnya peran kebudayaan dalam menjembatani hubungan persaudaraan dan kemanusiaan antar-bangsa. Ekspresi kesenian yang universal lebih mudah diterima oleh berbagai kalangan, ketimbang jalur diplomasi politik.
Kursi Menteri
Ketimbang menyeret Lalu Iqbal ke isu Pilkada Gubernur NTB 2024 (yang skupnya terlalu sempit untuk ruang-gerak dan pengalamannya yang telah menjelajah wilayah global), akan lebih relevan jika “mendorong” Lalu Iqbal untuk menempati kursi menteri, hal itu lebih pantas. Kondisi geopolitik global yang sedang tidak menentu membutuhkan orang-orang berprestasi dan berpengalaman internasional, bukan cuma jago kandang. Di masa depan (baca: pasca-pemilu 2024) Indonesia membutuhkan menteri yang tangguh, berkemampuan di atas rata-rata, dan teruji bekerja di bawah tekanan tinggi. Dan, Lalu Iqbal sangat tepat untuk menempati posisi-posisi strategis tersebut, selain berkarier di Kemenlu RI.
Pada Pilpres 2019 lalu, Calon Presiden Prabowo Subianto meraih suara 72% lebih di Provinsi NTB, kendati secara nasional kalah oleh Presiden Jokowi. Jika pada Pilpres 2024 nanti Capres Prabowo terpilih sebagai Presiden RI ke 8, maka saat Prabowo menyusun kabinet, yang akan diingat pertama kali adalah tokoh-tokoh dari NTB. Jika bukan Lalu Iqbal siapa lagi?
Soal Lalu Iqbal ini memang fenomena menarik. Dia mampu menjadi rangsangan besar bagi keingintahuan kita, setidaknya saya. Dia memang sosok yang berbeda. Dia besar di dunia diplomasi. Wajar kalau kita tidak mudah menebak arahnya.
Kita masih perlu mendengar lebih banyak, mencermati lebih jauh langkah dan pemikiran, untuk memahami arah angin yang dia pilih. Untuk saat ini saya merasa dia adalah perindu sejati bagi gumi paer ini, Lombok. Tapi apakah dia akan berhenti disitu? Kita lihat nanti….
Bersambung….
(Tulisan ini merupakan rangkuman dari hasil diskusi dengan beberapa orang, tidak mewakili pendapat pribadi).