Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) adalah yang diberi amanah oleh Presiden RI sebagai leading sector penanganan gizi buruk (stunting) nasional mulai tahun 2021. Dalam kompleksitas masyarakat, BKKBN memiliki tugas tidak ringan. Apalagi di tengah Pandemi Covid-19. Lalu, bagaimanakah tantangan BKKBN menangani stunting di NTB ?.
Sebagai bahan refleksi bahwa pada Tahun 2018, Pemerintah Provinsi NTB merilis peta kerawanan stunting per kabupaten/kota, dengan data sebagai berikut : Lombok Timur 43,52 %, Dompu 33,83 %, Lombok Barat 33,61 %, Kota Bima 32,01 %, Kabupaten Bima 32,01 %, Sumbawa 31,53 %, Lombok Tengah 31,05 %, KLU 29,30 %, Kota Mataram 24,49 %, dan Sumbawa Barat 18,32 %. Dengan klasifikasi <20 % : baik, 20-30 % : kurang, 33-39 % : buruk, dan >40 % : sangat buruk. Angka stunting tertinggi yaitu Lombok Timur mencapai 43,52 persen. Sedangkan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) mampu menekan angka stunting dengan klasifikasi baik.

Data Bulan Agustus 2020 angka kasus stunting di NTB mencapai 23,51 persen. Sementara itu, Pemerintah Pusat menargetkan, kasus stunting dapat diturunkan menjadi 14 persen pada 2024 mendatang. Akan tetapi banyak hal dan potensi lain belum tergarap secara maksimal untuk menurunkan angka stunting di NTB.
Antara Mitos dan Tradisi : Stunting pun Meningkat ?
Pada umumnya, masyarakat Sasak melaksanakan ragam kebiasaan baik, contohnya bila ibu dinyatakan positif mengandung, saat itu pula ada intervensi sosiologis dari (pelingsir) ; orangtua ibu hamil dan keluarga terdekat lainnya. Mulai dari Selamatan Tujuh bulanan masa awal kehamilan, perak api pekan pertama kelahiran yang dirangkaikan dengan ngurisan (cukuran) anak saat dilahirkan. Semuanya tertuju pada upaya penanaman nilai-nilai : moral, agama, sosial hingga karakter anak sejak dini. Praktik baik tersebut masih bertahan hingga kini.
Namun ada yang unik, dipercaya sejak lama sebagai sebuah “keyakinan”, bila dilanggar akan berakibat fatal, nantinya. Sebut saja, ibu hamil dilarang makan ikan : Belut, Cumi, Teri, Udang, Tongkol, hingga Gurita. Kelak sang ibu “diyakini” tidak bisa melahirkan normal, anak terlahir kulit gatal, tidak bisa gemuk, proses terlahir sunsang, bahkan berakibat kematian anak dan ibu saat dalam kandungan bahkan saat melahirkan. Berikutnya, dilarang mengkosumsi Sayur Kelor, Bayam, Turi, biji bijian semisal (Biji Komak, Biji Botor), dan lainnya. Dikhawatirkan kelak anak terlahir lemas dan lemah dan bahkan tidak normal.
Cukuplah makan nasi yang di rendam dicampur garam. Dikenal dengan peristilahan Sasak “Sejari-jari beras bekerem” pun diterima banyak orangtua dan perempuan saat masa kehamilan dan menyusui. Bila Kita amati dampak pola hidup diatas, maka tepat penulis mengutip data yang bersumber dari hasil riset nasional Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak RI menyebutkan pada Tahun 2020 menyebutkan bahwa masih terdapat beberapa masalah gizi yang menjadi perhatian pemerintah antara lain bayi dengan berat badan lahir rendah (11,32 persen), gizi kurang berdasarkan BB/U (13,8 persen), anak pendek dan sangat pendek berdasarkan TB/U (19,3 dan 11,5 persen), serta anak kurus dan sangat kurus berdasarkan BB/TB (6,7 dan 3,5 persen). Data tersebut diakibatkan oleh pola pola intervensi orangtua dan masyarakat saat ibu hamil dan masa masa mlehairkan hingga menyusui.
Suami Hebat : Cegah Stunting
Penelantaran adalah sebab awal gizi buruk, otoritarian perilaku suami hingga pada permisivnya perhatian pada pasangan adalah awal masalah. Fenomena tersebut nyata banyak terjadi di tengah masyarakat NTB, ditengah feodalistiknya kebudayaan dan didukung oleh kuasa maskulinitas dalam berumah tangga.
Sejatinya, sejak awal penikahan mestilah isteri diberi nafkah yang cukup dan terjamin. Asupan makanan yang cukup dan baik dalam rangka persiapan di masa kehamilan mutlak disediakan suami. Dengan menyediakan beragam makanan, minuman serta hal lain secara proporsional agar isteri dan anak pun sehat.
Artinya, menikah bukan hanya balutan rasa dan cinta. Maka lelaki hebat adalah lelaki yang sejak awal berikrar dan sesegera mungkin memanifestasikan cinta tersebut dengan menyiapkan hak-hak isteri dan hak-hak anak.
Karena seringkali secara sosiologis, anak dan ibu sebagai istri adalah dua entitas korban yang selama ini terpapar. Bayangkan anak dan ibu sejatinya adalah model dan produk dari bingkaian cinta dan tanggung jawab suami dalam menafkahi keluarga di rumah. Namun fenomena nyata, ayah atau suami seringkali mengabaikan kewajibannya akibat lemahnya pengetahuan, keterampilan dan akses yang dialami. Hal tersebut berakibat pada muculnya korban di lingkungan keluarga, mulai dari kekurangan gizi bagi ibu dan anak.
Memaksimalkan Peran BKKBN di NTB
Saat pandemi Covid-19, pemanfaatan BKB Kit Stunting mutlak didayagunakan disaat akses sosial dibatasi. BKB Kit Stunting idealnya terdistribusi baik secara online maupun luring sehingga masyarakat dapat sedari awal memahami cara meminimalisir stunting. Sudah tidak zamannya lagi APE berupa BKB Kit Stunting hanya jadi pajangan atau bahkan terbungkus rapi dalam etalase. Pemanfaatan media tersebut dapat sejatinya dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, sehingga realisasi target penurunan stunting di NTB dapat terlaksana.