kicknews.today – Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi tuan rumah Kongres Nasional ke-20 Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (PERHATI-KL) 2025. Sekitar 1.300 dokter spesialis THT-KL dari seluruh Indonesia hadir untuk memperkuat kolaborasi, memperbarui pengetahuan, hingga mendorong kemandirian teknologi kesehatan nasional, khususnya alat kesehatan THT.
Ketua Panitia KONAS XX PERHATI-KL 2025, Prof. Dr. dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL(K), M.Kes menyampaikan bahwa kegiatan ini bukan hanya menjadi ajang ilmiah, tetapi juga momentum penting memperkuat inovasi dan kemandirian bangsa di sektor kesehatan.

“Tujuan akhirnya adalah meng-update ilmu pengetahuan, meningkatkan skill, dan memilih ketua baru untuk tiga tahun ke depan. Yang paling penting, kita bersilaturahmi, berdiskusi, dan menggali potensi inovasi. Banyak inovasi yang sudah dilakukan teman-teman dan ini menjadi langkah maju bagi pengembangan THT-KL ke depan,” ujar Prof. Hamsu, Kamis (30/10/2025).
Ia menambahkan, dorongan Kementerian Kesehatan agar Indonesia tidak selalu bergantung pada alat kesehatan impor menjadi perhatian serius dalam kongres ini. Salah satu inovasi yang ditampilkan adalah “dokter pintar”, teknologi bantu layanan THT serta berbagai alat medis lainnya yang berpotensi diproduksi massal di dalam negeri.
“Harapan kami, temuan-temuan dari dokter THT Indonesia bisa diproduksi secara massal. Indonesia punya kemampuan. Produksi dalam negeri dapat mengisi kebutuhan daerah, karena banyak fasilitas kesehatan membutuhkan alat khusus THT,” tegasnya.
Ketua Umum PP PERHATI-KL, Dr. dr. Yussy Afriani Dewi, Sp.THT-KL, Subsp.Onk.(K) menyoroti permasalahan minimnya alat dasar THT di fasilitas kesehatan Indonesia. Dari 3.000 rumah sakit, sebanyak 600 rumah sakit memiliki dokter THT namun belum dapat masuk sertifikasi layanan karena tidak didukung peralatan dasar.
“Mereka tidak bisa bekerja optimal karena tidak punya alat dasar THT. Maka alat-alat itu harus dipenuhi agar rumah sakit bisa masuk minimal sertifikasi layanan dasar,” jelas Dr. Yussy.
Menurutnya, harga alat kesehatan menjadi tantangan besar. Karena itu, pemerintah dan organisasi profesi mencari alternatif kualitas yang sama dengan harga lebih efisien, termasuk produk dari negara Asia yang lebih terjangkau.
Ketua PERHATI NTB, dr. Mochammad Alfian Sulaksana, Sp.THT-KL(K) menekankan pentingnya percepatan pemenuhan alat untuk terapi gangguan pendengaran bawaan lahir, termasuk implan koklea.
“Selama ini kita banyak mengambil dari Amerika dan Eropa. Padahal alat dari Asia, seperti China dan Korea, kualitasnya tidak kalah. Harga implan Eropa bisa mencapai USD 8.200, sementara dari China sekitar USD 6.000. Selisih ini sangat membantu pasien,” ujarnya.
Menurutnya, dengan harga lebih kompetitif dan kualitas setara, layanan implan pendengaran bisa diperluas hingga fasilitas regional seperti puskesmas, sesuai dorongan Menteri Kesehatan.
Prof. Hamsu menegaskan pentingnya sinergi pemerintah dalam mencetak dokter spesialis yang tak hanya kompeten secara klinis, tetapi juga mampu berinovasi dalam teknologi kesehatan.
“Indonesia tidak boleh hanya menjadi importir. Kita harus menjadi produsen, bahkan eksportir. Teknologi seperti implan mungkin kompleks, tetapi China juga belajar dan akhirnya menghasilkan teknologi sendiri. Indonesia pun bisa,” katanya.
Dikatakan Prof. Hamsu, KONAS XX PERHATI-KL diharapkan menjadi titik balik kemandirian teknologi THT Indonesia untuk menghentikan ketergantungan pada teknologi luar negeri dan menekan keluarnya devisa negara. (gii)


