in

Suami “Kuat”: Cegah Stunting pada Keluarga Pekerja Migran Indonesia

Oleh : Chae Khairil Anwar

Saat ini, jika dilihat dari angka, prevalensi stunting Nusa Tengga Barat (NTB) berkisar 19,23 %. Kabupaten Lombok Barat 27,71 %, Kabupaten Lombok Tengah 23, 03 %, Kabupaten Lombok Timur 18, 13 %, Kabupaten Sumbawa 8, 39 %, Kabupaten Dompu 14, 30 %, Kabupaten Bima 18,20 % Kabupaten Sumbawa Barat 14, 45 %, Kabupaten Lombok Utara 28, 31 %, Kota Mataram 19,64 %, Kota Bima 17,56 %, (Sumber e-PPGBM 31 Desember 2021). Bila dilihat dari laporan SSGBI 2019 dan SSGI 2021 Nusa Tenggara Barat (NTB) menempati posisi ke empat di bawah Provinsi Aceh, Sulawesi Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Melihat trend prosentase stunting diatas sesungguhnya tidak dapat kita anggap remeh. Menurut penulis hal diatas bisa saja dikategorikan sebagai darurat stunting karena stunting tiada bergeming akibat aksi convergensi (8 aksi) belum teraktualisasi dalam kerangka kerja pemerintah daerah. Sementara, penyebaran stunting hampir merata ada di tiap desa, sayangnya lokus penanganan stunting terlihat parsial, sebut saja di tahun 2022 ini setidaknya sekitar 170 desa dari (1.143 desa : sumber ntb.bps.go.id) menjadi lokus penanganan stunting.

Untuk mengingatkan pembaca, stunting (kerdil ; tengkes) merupakan masalah tidak terpenuhinya gizi, sehingga terjadi permasalahan gizi yang bersipat kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan usianya. Dalam Bahasa Sasak dikenal dengan percet-kocet. Anak yang mengalami kekurangan gizi kronis rentan terhadap beragam penyakit dan beresiko mengidap penyakit degeneratif, kelak akan berpengaruh terhadap tingkat kecerdasannya.

Suami hebat Sadar Gizi, Sayang Istri ; No Way Stunting !

Penyakit kronik ini disebabkan oleh banyak faktor. Diantaranya adalah pertama, Situasi ibu dan calon ibu. Di Nusa Tenggara Barat menjadi pekerja migran perempuan merupakan “pilihan”, “Rela” meningggalkan keluarga termasuk meninggalkan “anak usia dininya”. Hal tersebut karena tuntutan ekonomi, ditengarai akibat suami “lemah” dalam pemenuhan hak-hak anak dan isteri. Menurut data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indoenesia (BP2MI) Nusa Tenggara Barat menempati urutan kedua pengirim Pekerja Migran Indonesia (PMI) terbesar setelah Jawa Timur, yakni sejumlah 71.559.  

Mengutip sumber yang sama, jumlah penempatan pekerja migran menurut asal di Nusa Tenggara Barat berdasarkan sektor formal dan jenis kelamin periode 2017-2019 adalah sebagai berikut, tahun 2017 laki laki berjumlah 28.152 orang, perempuan 6.842 orang. Pada Tahun 2018 laki-laki 25.680 orang dan perempuan 6. 887 orang dan tahun  2019 laki-laki 23.883 orang dan perempuan 6.823 orang.

Faktor pertama diatas akan mempengarui ketersediaan dan asupan nutrisi yang kurang di masa 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) ibu dan anak ; 2 bulan kehamilan sampai usia 2 tahun anak. Anak- yang ditinggal belum usia tahun akan berdampak pula terhadap psikososial dan tumbuh kembang anak. Kelaknya.

Sang suami meninggalkan isteri saat sang isteri hamil, saat persalinan dan bahkan sesudah melahirkan juga akan mengganggu “situasi” ibu saat hamil hingga pengasuhan anak. Ada tradisi, seolah-olah dengan meninggalkan kampung halaman untuk menjadi pekerja migran merupakan solusi pemenuhan kebutuhan ekonomi, namun aspek lain terabaikan.

Di sisi lain, ibu-ibu yang ditinggal atau meninggalkan keluarga banyak sebagai pasangan usia subur (hamil atau menikah terlalu muda di bawah usia 20 tahun). Tercatat sekitar enam puluh lima ribuan pasangan usia subur di Lombok Tengah (sumber Sekretaris DP3AP2KB Kabupaten Lombok Tengah) dengan sebaran yang heterogen, bisa jadi pasangan pekerja migran.

Hal ini juga menjadi perhatian pemerintah daerah agar remaja putri sebagai calon ibu masa depan harus memiliki kecakapan dan kepantasan terhadap dirinya termasuk pemahamannya terhadap status gizi yang baik.

Kedua, situasi bayi dan balita. Yang dimaksud pada point ini adalah tidak terlaksananya Inisiasi Menyusi Dini (MD), gagalnya pemberian Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif, dan termasuk Makanan Pendamping Asi (MP ASI) yang tidak terukur baik kualitas, kuantitas dan keamanan pangan yang diberikan. Namun, berdasarkan data Direkotrat Jenderal Kesehatan Masyarakat (2017), Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki ketangguhan dalam ketercukupan dalam usaha insisiasi menyusi dini (IMD) dengan prosentase 86, 75 % jauh diatas Bali, Jawa timur, jawa Tengah dan provinsi lainnya.

Maka untuk menyimpulkan faktor lain pemicu stunting pada keluarga pekerja migran setidaknya dibutuhkan penelitian mendalam keterhubungan antara rendahnya akses terhadap makanan dari segi jumlah dan kualitas gizi yang disediakan pengasuh tunggal. Ataukah kesalahan pola asuh dan interaksi kasih sayang yang kurang antara suami dan isteri sejak 1000 HPK, dan ataukah rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk akses sanitasi dan air bersih ?

Untuk memenuhi hal diatas, maka peran pemerintah seyogyanya dapat menyentuh lokus masyarakat rawan stunting sebagai lokus priorotas penurunan stunting melalui aksi surveilans gizi secara periodic, memaksimalkan pembagian peran multi pihak dalam penangan stunting : dunia usaha, media, perguruan tinggi (Rencana Aksi Nasional Penurunan Angka Stunting Indonesia/RAN PASTI 2022) dan masyarakat madani. Hal tersebut juga dapat terwujud bila keluarga-keluarga (ayah dan ibu) diberikan penguatan dan diberi akses akan hak sebagai warga negara, peran kolaboratif dari pencegahan hingga usaha implementasi penanganan stunting berbasis komunitas.Semoga.

Penulis adalah Dosen Prodi Pendidikan Islam Anak Usia Dini Universitas Islam Negeri Mataram & Koord.Tim Pelaksana Pendampingan Perguruan Tinggi dan BKKBN dalam Percepatan Penurunan Stunting Daerah Area Kabupaten Lombok Tengah

Editor: Redaksi

Laporkan Konten