Membaca berita tentang tenggelamnya kapal yang membawa para TKI~kebanyakan dari Lombok, membuat hati saya sangat berduka. Rasanya sangat sedih, bukan hanya membayangkan bagaimana mereka terombang-ambing di tengah lautan, berjuang menyelamatkan diri ditengah ganasnya pusaran ombak Selat Malaka, tetapi juga bagaimana perasaan keluarga, anak, istri, suami, handai tolan yang mengalami peristiwa duka itu.
Ya, bicara TKI seakan membuka persoalan yang sangat pelik, penuh duka lara, hingga menimbulkan luka yang sangat perih. Semua tahu, tidak mudah dan murah agar bisa menjadi TKI. Untuk biaya keberangkatan, sampai ada yang jual rumah dan barang berharga lainnya, menggadaikan harta warisan, atau kebanyakan terpaksa berhutang kepada renternir.
Saya sering bertanya, kenapa seseorang mau menjadi TKI, ilegal pula, mempertaruhkan nyawa dan segala-galanya? agar bisa mencari penghidupan yang layak di negeri orang? Memang ada pilihan? Ya, kebanyakan mereka adalah orang-orang miskin, kepepet, terdesak oleh keadaan, berpendidikan rendah, serta tidak memiliki skill yang memadai. Karena itu mereka sering menjadi korban yang tidak berdaya. Dijanjikan ini-itu, dijebak hutang, dipalak oleh banyak pihak, dijerumuskan, dijual sebagai komoditas ketenagakerjaan.
Begitulah faktanya.
Dan di Lombok, pulau kecil berpenduduk sangat padat ini, terdapat lebih dari 100.000 orang menjadi TKI, baik yang legal maupun ilegal. Jumlah yang tidak main-main tentu saja. Dari jumlah TKI sebanyak itu, jumlah remiten (kiriman) mereka ke kampung halaman setiap tahunnya melalui sejumlah bank sebesar kurang lebih 4 trilyun Rupiah atau 2 kali lipat dari APBD Provinsi NTB. Bisa dibayangkan betapa besar dampak ekonominya.
Sayangnya semuanya selesai sampai disitu, dan tak merubah apapun. Angka kemiskinan tetap menjulang tinggi, angka yatim-piatu sosial apalagi (anak2 yang ditinggal orang tuanya menjadi TKI, biasanya diasuh oleh keluarga atau kerabat), dan jumlah TKI ilegal tetap naik setiap tahunnya.
Kenapa bisa seperti itu? Sebab sebagian besar uang sudah lari ke renternir, pungli, hingga budaya hidup konsumtif tinggi. Uang itu habis bahkan sebelum sampai ke alamatnya untuk cicilan hutang dan jebakan kredit ini-itu.
Lalu pemerintah daerahnya kemana saja? Tak adakah upaya lebih serius untuk memutus matarantai perdagangan manusia ini? Sementara, sebagian besar orang lebih sibuk mengurusi iman dan moral orang lain dibanding persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh tetangga sendiri.
