in

Putri Mandalika

Patung Putri Mandalika

Sedari dulu kala, Lombok selalu jadi primadona dan rebutan bangsa-bangsa. Lombok Mirah Sasak Adi.

Ya, Pulau tempatnya orang Sasak berdiam ini seperti permata yang besar dan menyala. Selalu mengundang perhatian sesiapapun.Mungkin karena letaknya yang sangat strategis, berada tepat di tengah-tengah persimpangan jalur pelayaran Nusantara.

Hampir semua pelaut dan kapal berbagai bangsa yang berlayar dari dan ke pulau rempah Ali Furuk (Alfuruk/Arafuru/Halmahera) Atau Al Mulk (Maluku/tanah para raja) menyempatkan singgah di pulau Sasak yang memiliki gunung menjulang dengan lahar menguntai seperti cabe yang menyala itu.

Mungkin juga karena di tanah ini tidak pernah ada kekuasaan yang otoritatif, besar, mengakar sehingga semua orang seolah berhak mengangkanginya.

Buat apa? Tanah Sasak ini begitu subur, makmur, semua orang bisa hidup senang dan tenang. Kenapa harus ada yang merasa lebh berkuasa atas lainnya? Bukankah setiap orang lahir telanjang dan hanya bermodal tangis? Dan bumi ini tergelar untuk semua makhluk?Itu juga yang menjadi persoalan besar ketika Laksmana Nala memilih lingsir, meninggalkan dunia persilatan, hidup zuhud menggapai puncak spiritualitas. Moksa di Gunung Rinjani.

Tahun 1380-1390an Masehi. Kekaisaran Majapahit benar-benar di ujung tanduk oleh konflik internal perebutan tahta. Banyak wilayah yang melepaskan diri atau tak terurus lagi. Salah satunya Adalah Gumi Sasak. Pulau Lombok Mirah.

Konon, sebelum memutuskan hijrah ke dunia spiritual, Mpu Nala yang bergelar Arya Wira Mandalika itu bertemu seorang pertapa di lereng gunung Rinjani yang memiliki anak gadis cantik jelita. Nala yang sudah tidak muda lagi itu jatuh cinta dengan putri jelita petani pertapa itu dan entah bagaimana kisahnya, mereka akhirnya memiliki seorang putri. Orang-orang menyebutnya Putri Mandalika. Kemanapun putri ini pergi selalu jadi pusat perhatian dan rebutan para jejaka. Bahkan para raja dan pangeran dari berbagai negeri tertarik untuk meminangnya. Sebab mereka percaya siapapun yang mengawini putri dari penguasa 8 penjuru mata angin (Mandalika, Penguasa Mandala) akan jadi “Lelananging jagad”. Pewaris tahta dunia.

Merekapun saling berebut. Beradu intrik, hingga beradu kesaktian. Darah tumpah dimana-mana oleh para pengikut pangeran yang saling ribut.

Putri Mandalika merasa jengah. Jauh di dalam hatinya ia merasa sangat terasing, sendiri dan kesepian.

“Susahnya menjadi perempuan. Hanya menjadi barang rebutan, setelah itu harus bersiap dicampakkan!”Iapun menyingkir ke arah selatan. Ke sebuah pantai yang bertebing curam. Duduk termangu selama berhari-hari. Merenungi segala kesah dunia.

“Dan jika Bapaku moksa di Gunung, mungkin aku ditakdirkan menjadi milik lautan…” bisiknya.

Laut yang bergolak, namun teduh di lubuknya. Bukankah laut muara segala ikhwal kehidupan? Entah apa yang sebenarnya terjadi. Apakah mandalika terjun ke laut? Atau ia pergi bersembunyi entah dimana.

Orang-orang tak pernah melihatnya lagi, apalagi menemukan jasadnya. Saat matahari mulai rekah, dan laut surut, mereka hanya menemukan jutaan cacing laut yang mengambang disela-sela batu karang.

Orang-orang di Lombok Selatanpun percaya, cacing-cacing itu adalah barang bertuah, sebab itu adalah penjelmaan Putri Mandalika. Setiap tahun, saat hujan terakhir diakhir bulan kedua memasuki musim berseminya anggrek-anggrek tanah berwarna merah muda, mereka merayakan peristiwa itu dalam pesta Bau Nyale.