kicknews.today- Kepala Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Barat (NTB), H Lalu Hamzi Fikri mengatakan, kesadaran masyarakat NTB akan kesehatan masih rendah. Mulai dari imunisasi anak, vaksin hingga pemeriksaan kesehatan secara rutin.
“Masih mempercayai mitos dan berita hoaks menjadi salah satu penyebabnya. Seperti tidak imunisasi itu dianggap lebih aman untuk keberlangsungan hidup anak,” ungkap Hamzi Fikri saat Lokakarya Strategi Intervensi Perubahan Perilaku Sosial dalam program komunikasi risiko, pelibatan masyarakat dan anak yang digelar Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) NTB dan UNICEF di lantai 3 Favehotel, Mataram, Kamis (16/6).
Mengubah perilaku masyarakat menurut Fikri memang cukup sulit. Dalam kondisi sekarang, komunikasi risiko harus terus dilakukan dengan melibatkan semua lini, agar tujuan komunikasi bisa lebih optimal.
“Kita bisa belajar di 2 tahun pandemic, bagaimana merubah perilaku masyarakat dari tidak memakai jadi pakai masker. Tidak mencuci jadi mau cuci hingga keinginan untuk vaksin,” ujarnya.
Bicara kondisi masyarakat NTB di aspek kesehatan menurut Fikri, adalah sebuah tantangan. Terbukti, ada beberapa kasus ditemukan yang mungkin dianggap karena minimnya pemahaman masyarakat akan pentingnya hidup sehat.
“Contohnya ada kasus anak yang mengalami gangguan jantung. Ternyata, penyakit itu muncul karena orang tuanya terpapar rubella yang mungkin tidak pernah vaksin sejak dulu,” sebutnya.
Mengubah perilaku memang butuh proses dan strategi baru yang dibutuhkan untuk memaksimalkan program komunikasi risiko. Tentunya, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Butuh partner bagaimana informasi bisa sampai ke masyarakat.
Selain lewat media cetak maupun mainstream menurut Fikri, peran tokoh di masyarakat juga masih memberikan pengaruh terhadap perubahan perilaku masyarakat di NTB. Peran tokoh masih dianggap penting untuk mensosialisasikan di masyarakat.
“Termasuk guru. Peran mereka masih sangat dibutuhkan dalam mengubah mindset masyarakat dalam memahami pola hidup sehat,” imbuhnya.
Disisi lain, NTB juga memiliki posyandu keluarga yang merupakan program unggul Pemprov NTB. Saat ini NTB memiliki 10.665 posyandu secara kelembagaan diperkuat dengan kualitas posyandu yang cukup baik.
Selain itu, NTB juga sedang berjuang bagaimana seluruh kabupaten mendapat predikat layak anak sangat baik di tahun 2022-2023. Untuk mencapai hal itu, tentunya wajib mempertimbangkan pandangan anak melalui konseling anak, kebijakan anggaran yang berpihak pada hak anak dan menyertakan anak dalam program pembangunan.
“PR kita cukup besar pada aspek kesehatan, pendidikan dan sosial di NTB. Karena, saat ini di NTB angka imunisasi bagi anak masih di 25 persen di Bulan ini,” pungkasnya.
Direktur PKBI NTB, Ahmad Hidayat dalam sambutannya menyampaikan, dalam program ini nanti dapat menciptakan role model melalui mobilisasi sosial untuk bisa mendesain bagaimana komunikasi perubahan perilaku yang paling efektif. Baik untuk di isu-isu sektor kesehatan, pendidikan, pemberdayaan dan perlindungan anak.
“Program ini mulai Bulan Mei 2020 sampai Desember 2022 dan berharap bisa diperpanjang. Semoga UNICEF bisa mempertimbangkan hal tersebut,” harap Dayat.
Program ini kata Dayat, sudah diimplementasikan di masing-masing 5 daerah di NTB dan NTT. Untuk NTB yakni, Kabupaten Sumbawa, Dompu, KSB, Bima dan Kota Bima. Sedangkan NTT yaitu, Kabupaten Belu, TTS, TTU, Malaka dan Kupang.
“Program ini harapannya untuk bersinergi dengan OPD mitra bisa sejalan dan berkontribusi dalam pembangunan daerah baik di NTB maupun NTT,” jelas Dayat.
Untuk di NTB dan NTT pemetaan mitra strategisnya masih sama yakni, Bappeda, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Kemenag, Dinas Kominfo dan DP3A2KB. Sejauh ini harapan PKBI dalam program ini tidak terbatas dengan isu-isu kampanye tentang BIAN (Bulan Imunisasi Anak Nasional). Tapi, bisa menghasilkan sesuatu konsep komunikasi perubahan perilaku yang akhirnya bisa dituangkan dalam bentuk program.
“Untuk menyusun program komunikasi perubahan perilaku dalam workshop ini kami melibatkan berbagai OPD Mitra. Jadi, harapannya strategi itu bisa muncul dari hasil rembuk bersama,” tutur Dayat.
Dalam program ini, pihaknya akan mendampingi lebih kurang 160 sekolah dari 2 provinsi. Masing masing 80 sekolah per provinsi. Khusus di Pulau Sumbawa PKBI mendapatkan rekomendasi dari Dikbud Provinsi agar dapat melibatkan SLB. Karena selama ini, SLB jarang dilibatkan.
“Kami berterima kasih Dikbud untuk rekomendasinya,” ujarnya.
Kemudian PKBI juga melibatkan lebih kurang 4 komunitas disetiap kabupaten. Menariknya, komunitas ini sebagian besarnya adalah komunitas literasi yang sudah terbentuk dan memiliki aktivitas sendiri. Selain menarik minat baca, mereka juga bisa memberikan kontribusi pada perubahan sosial masyarakat di sekitar.
“Jadi, komunitas- komunitas yang kita pilih bisa terlibat dalam program ini nanti,” harapnya.
Dayat berharap dukungan Pemda NTB maupun NTT agar berkolaborasi dalam memonitoring demi mensukseskan program ini. Sebab, PKBI sebagai NGO hanya akan fokus pada aktifitas-aktifitas programatik, sehingga mungkin bisa jadi adanya kealpaan pada pembangunan dan juga program prioritas daerah.
“Jadi, masukan pemerintah melalui workshop sangat kami butuhkan untuk keberlangsungan program,” harap Dayat.
Daya juga berterima kasih kepada pihak pemerintah yang sudah membantu PKBI untuk asesmen sekolah dan juga komunitas dampingan. Serta memberikan banyak masukan terkait dengan permasalahan-permasalahan yang bisa menjadi isu strategis dalam program yang dibahas dalam workshop ini.
“Semoga catatan ini bisa menjadi bahan pertimbangan buat pemerintah daerah di NTB maupun NTT. Sehingga kedepan lebih nyaman, elegan lagi dalam bersinergi,” tutup Dayat.
Sementara Perwakilan UNICEF Wilayah Kupang, Septian Fajar ST mengatakan, menjadi sehat adalah hak dasar yang harus didukung dan penuhi seperti mendapatkan secara langkah ini. Anak-anak Indonesia adalah aset yang paling berharga, merekalah penanti masa depan.
Pilihan kebijakan dan investasi untuk anak yang diambil pada saat ini akan berdampak besar pada Indonesia menuju masyarakat yang adil, makmur dan kesejahteraan. NTB dan NTT khususnya telah tercapai pertumbuhan sosial dan ekonomi yang pesat dan mengesankan. Terdapat hampir 85 juta anak di Indonesia dan remaja mencapai angka 46 juta.
“Kita mengetahui bahwa anak-anak, remaja dan orang muda akan berpengaruh langsung pada keputusan keputusan yang dibuat oleh orang tua mereka, masyarakat dan pemerintah. Baik dalam hal pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan,” jelas Fajar.
Hanya saja, mereka sering kali tidak dilibatkan dalam proses-proses pengambilan keputusan yang relevan. Dimana mereka berhak mengambil bagian didalamnya.
Padahal, partisipasi remaja dan keputusan- keputusan yang mempengaruhi mereka merupakan sebuah hak berakar yang diidentifikasi di Indonesia. Hal itu jelas, tercantum dalam Undang-undang 35 2014 tentang perlindungan anak.
“Meskipun demikian, untuk berpartisipasi secara bermakna remaja membutuhkan ruang-ruang yang aman untuk membentuk dan menyatukan pandangan mereka,” katanya.
Anak dan remaja menurut Fajar, memiliki pandangan penting terhadap kebijakan dan program membentuk kehidupan dalam masyarakat. Ketika mereka dilibatkan sebagai mitra yang setara, tentu mereka bisa membangun masa depan lebih baik.
“Temuan kami menunjukan bahwa orang muda Indonesia sangat bersemangat dan berkontribusi untuk masyarakat dan memiliki kebijakan-kebijakan yang kuat untuk mendukung hak ini. Tetapi tetap ada memiliki tantangan dalam perwujudannya. Kami UNICEF berharap dari kegiatan ini bermanfaat bagi para pembuat kebijakan dan mereka yang bekerja untuk memperkuat partisipasi remaja dalam seluruh aspek kehidupan,” pungkasnya.
Lokakarya tersebut digelar dua hari, mulai 15-16 Juni. Selain Kepala Dinas Kesehatan NTB, ikut hadir juga Perwakilan Bappeda NTB, PKBI NTT, UNICEF dan sejumlah tamu undangan lain. (jr)