Kematian akibat AMR meningkat di Indonesia, BPOM Mataram: Waspada beli obat tanpa resep dokter

Kadiskes NTB bersama Kepala BBPOM Mataram dalam acara Ngobrol Santai bersama awak media, di Aula BBPOM di Mataram, Rabu sore (03/07/2024)
Kadiskes NTB bersama Kepala BBPOM Mataram dalam acara Ngobrol Santai bersama awak media, di Aula BBPOM di Mataram, Rabu sore (03/07/2024)

kicknews.today – Menurut data University of Washington bahwa tahun 2019, angka kematian di Indonesia yang disebabkan Anti Microbial Resistance (AMR) mencapai 34.500 jiwa dan 133.800 kematian yang terkait langsung dengan AMR.

Jumlah ini menempatkan Indonesia pada urutan ke 78 dari 204 negara dan nomor 5 di Asia Tenggara, dengan angka kematian tertinggi yang terkait dengan AMR.

Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Mataram, Yosef Dwi Irawan menyebutkan, AMR tidak hanya berdampak kepada manusia. AMR juga berdampak kepada hewan, perikanan, pertanian, dan lingkungan, yang bersumber dari manusia.

Dijelaskan Yosef, AMR atau disebut ‘Silent Pandemi’,  merupakan suatu kejadian ketika virus dan bakteri tidak lagi mempan terhadap antibiotik.

“Faktor pemicu resistensi antibiotic terdiri dari 2 yaitu faktor dari produk antibiotik itu sendiri dan faktor dari perilaku manusia,” jelas Yosef, Rabu (3/7).

Faktor dari produk adalah, lanjutnya, apabila produk antibiotic yang digunakan adalah produk yang tidak memenuhi ketentuan mutu (substandard). Produk rusak atau bahkan palsu dan faktor dari perilaku manusia.

Seperti resep tidak rasional dan penggunaan antimikroba tanpa resep dokter, mengkonsumsi antimikroba tidak sesuai ketentuan, membuang antimikroba sembarangan, serta penggunaan antimikroba pada hewan yang tidak sesuai ketentuan.

Upaya pengendalian AMR, kata Yosef, harus melibatkan multisektor (one health approach), yang melibatkan sektor manusia, hewan dan lingkungan.

“Pada level global WHO (World Health Organization), telah menerbitkan langkah-langkah strategis pengendalian AMR dalam bentuk Global Action Plan on AMR,” jelasnya.

“Sedangkan Indonesia, telah menertibkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 07 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pengendalian Antimikroba (RAN-PRA), tahun 2020 – 2024,” lanjutnya.

Dimana hal ini melibatkan lintas lembaga dan lintas kementerian yaitu Kemenkes, BPOM, Kementan, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Lingkungan Hidup.

BPOM pun telah memiliki Peta Jalan Rencana Aksi Pengendalian AMR di Lingkungan BPOM periode tahun 2020-2024, dan membentuk Tim Khusus Pengendalian AMR.

Dengan melibatkan juga Unit Pelaksana Teknis BPOM di seluruh Indonesia. Sebaliknya, pengendalian AMR yang diinisiasi BPOM berfokus pada 2 aspek. Yaitu pada aspek pengawasan pre-market dan post-market.

Pada aspek pengawasan pre-market, BPOM menerbitkan pedoman penilaian antibiotik dan evaluasi registrasi antibiotik. Sementara pada aspek pengawasan post-market dilakukan melalui pengawasan pengelolaan antimikroba di sarana produksi, distribusi, dan sarana pelayanan kefarmasian, sampling dan uji mutu, bimbingan teknis kepada pelaku usaha, serta edukasi kepada masyarakat.

Dari hasil pengawasan UPT Badan POM seluruh Indonesia, lebih dari 70 persen sarana Apotek, masih ditemukan menyerahkan antibiotic tanpa resep dokter, dan di wilayah BBPOM Mataram sendiri angka tersebut bahkan mencapai lebih dari 90 persen.

Profil antibiotic yang paling banyak diserahkan tanpa resep dokter secara nasional antara lain Amoksisilin, Cefadroxil dan Cefixim.

Berdasarkan hasil pengawasan tersebut, maka Kepala BBPOM di Mataram dan Kepala Dinas Kesehatan (Dikes) Provinsi NTB sepakat bahwa salah satu langkah pencegahan resistensi antimikroba adalah dengan menghentikan penggunaan antibiotic yang tidak rasional yaitu dengan menertibkan penyerahan antibiotik hanya dengan resep dokter.

“Kunci keberhasilan pencegahan resistensi antimikroba ini adalah adanya keterlibatan dan komitmen seluruh pihak. Baik pemerintah, tenaga kesehatan maupun masyarakat,” terangnya.

Bersama dengan Kementerian Pertanian, BBPOM melakukan join inspection terhadap sarana yang mengelola obat/bahan obat yang digunakan pada manusia dan hewan.

Selain itu BBPOM di Mataram, sejak tahun 2022, telah melakukan advokasi dan koordinasi untuk menggalang komitmen bersama lintas sektor terkait. Seperti Dinas Kesehatan, Dinas Peternakan, Organisasi Profesi (IAI, IDI, IBI dan PPNI) serta pihak akademisi.

Hal tersebut untuk bergerak bersama-sama mencegah resistensi antimikroba, khususnya di wilayah NTB. Selain itu, masyarakat dapat berperan aktif dalam memberikan solusi terhadap pencegahan pertumbuhan resistensi antibiotik.

Cegah Resistensi Antimikroba dengan 4T – Tidak membeli antimikroba tanpa resep dokter, Teruskan pengobatan dengan antimikroba yang diresepkan, walaupun keadaan telah membaik.

Tidak membuang antimikroba rusak/kadaluarsa sembarangan, Tegur dan laporkan jika mengetahui ada pihak atau sarana lain yang menjual antimikroba sembarangan atau tanpa resep dokter.

“Mari kita tingkatkan kepedulian dan kesadaran untuk bijak dalam penggunaan dan pengendalian antimikroba sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk mewujudkan Indonesia yang sehat dan bebas dari timbulnya penyakit, menuju Indonesia Emas 2045,” ajak Yosef.

Selain itu Yosef juga mengingatkan agar masyarakat selalu Cek KLIK (cek Kemasan, Label, Izin Edar, dan cek Kedaluwarsa) ketika akan membeli atau mengonsumsi produk Obat dan Makanan.

“Untuk memastikan produk pangan telah terdaftar, masyarakat dapat memanfaatkan aplikasi BPOM Mobile yang dapat diunduh melalui play store (Android) atau App store (iOS),” tutupnya. (gii)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI