kicknews.today – Dugaan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Pondok Pesantren di Kabupaten Lombok Barat, seperti dalam cerita Walid yang sedang tenar, memicu keprihatinan luas. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) NTB bersama Aliansi Pemerhati Perempuan dan Anak menyebut kasus ini sebagai alarm keras bagi lemahnya sistem perlindungan terhadap perempuan dan anak di Nusa Tenggara Barat.
Direktur Eksekutif PKBI NTB, Ahmad Hidayat, menyatakan bahwa peristiwa ini menjadi bukti nyata bahwa NTB belum memiliki mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang memadai, terutama di lembaga pendidikan berbasis keagamaan seperti pondok pesantren.

PKBI NTB mendesak pemerintah melalui Kementerian Agama dan Pemerintah Provinsi NTB untuk segera membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di seluruh pondok pesantren. Lingkungan tertutup seperti pesantren dinilai sangat rentan terhadap praktik kekerasan seksual yang kerap disembunyikan atau bahkan dibungkam oleh relasi kuasa yang kental di dalamnya.
“Pernyataan bahwa pembentukan Satgas PPKS tidak mendesak adalah kekeliruan. Ini bukan soal image kelembagaan, tapi soal keselamatan dan masa depan para santri,” kata Ahmad Hidayat, Jumat (25/4/2025).
Dalam pernyataannya, PKBI NTB juga menolak rencana peleburan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) ke dalam Dinas Sosial. Menurut mereka, langkah tersebut berpotensi melemahkan pelayanan perlindungan khusus terhadap perempuan dan anak, karena tugas DP3AP2KB sangat berbeda dengan fungsi Dinas Sosial yang lebih bersifat umum.
“UPTD PPA di bawah DP3AP2KB memiliki mandat khusus dalam pendampingan hukum, psikologis, hingga rehabilitasi korban kekerasan berbasis gender. Jika dilebur, layanan-layanan ini berisiko besar terpinggirkan,” jelasnya.
PKBI NTB juga menyoroti budaya diam dan dominasi kekuasaan lokal yang sering menghalangi korban untuk bersuara. Dalam kasus seperti Walid Lombok, menurut mereka, keberadaan lembaga yang fokus, mandiri, dan memiliki kewenangan jelas menjadi sangat penting agar kebenaran tidak terkubur oleh tradisi maupun tekanan sosial.
Mereka juga menyayangkan tidak adanya forum dialog resmi antara Gubernur NTB dengan kelompok masyarakat sipil yang selama ini berjuang di isu perlindungan perempuan dan anak. Padahal, menurut PKBI NTB, kolaborasi antara pemerintah dan LSM adalah kunci dalam membangun sistem perlindungan yang responsif dan inklusif.
Lewat pernyataan resmi ini, PKBI NTB dan Aliansi Pemerhati Perempuan dan Anak menyampaikan lima tuntutan kepada pemerintah: pertama, segera membentuk Satgas PPKS di seluruh pondok pesantren di NTB; kedua, membatalkan wacana peleburan DP3AP2KB ke Dinas Sosial; ketiga, menegaskan perbedaan fungsi antara RPTC Dinsos dan UPTD PPA; keempat, membuka ruang dialog resmi antara pemerintah dan masyarakat sipil; dan kelima, menangani setiap kasus kekerasan seksual secara transparan, adil, dan berpihak pada korban.
“Kami akan terus mengawal isu ini, bukan hanya dengan advokasi, tapi juga dengan pendampingan langsung dan penguatan kebijakan di tingkat daerah,” tegas Ahmad Hidayat. (red.)