Janji Hijau di Tepi Tambang

Program reklamasi Amman dilakukan secara bersamaan dengan operasi penambangannya (Foto: Gallery AMMAN)

kicknews.today – Sore itu di Kecamatan Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat, suara palu bertalu dari sebuah bengkel kecil di tepi jalan. Agus Salim, 28 tahun, menutup pekerjaannya hari itu dengan wajah penuh keringat. Tangannya berlumur oli, kaosnya basah oleh peluh. Ia letih, namun tertutup seulas senyum. 

Bengkel motor itu lahir dari bantuan modal usaha Corporate Social Responsibility (CSR) PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMMAN), perusahaan tambang tembaga dan emas pengelola tambang Batu Hijau.

“Kalau dulu saya hanya jadi buruh, sekarang sudah punya usaha sendiri. Walau kecil, bisa menghidupi keluarga,” kata Agus Salim, pemuda asli Desa Maluk, sembari menyalakan rokok di beranda bengkelnya.

Kisah Agus adalah satu keping dari serangkaian janji yang diusung AMMAN sejak mengambil alih tambang Batu Hijau dari PT Newmont Nusa Tenggara pada 2016. Kata-kata seperti “berkelanjutan” dan “pemberdayaan masyarakat” berulang kali muncul dalam laporan resmi maupun pidato manajemen. CSR, dalam kamus korporasi, bukan sekadar kompensasi, melainkan strategi menjaga harmoni di tepi tambang yang terus menggerus bukit dan isi perut bumi.

Akar janji hijau

Tambang Batu Hijau bukan cerita baru. Eksplorasi besar dimulai pada 1986, ketika tim geologi menemukan cadangan tembaga dan emas raksasa di ujung barat Pulau Sumbawa. Dua dekade kemudian, tahun 2000, Newmont mulai mengoperasikan tambang dengan metode open pit—lubang raksasa yang semakin melebar dan mengubah lanskap perbukitan hijau menjadi tebing batu.

Kehadiran tambang itu segera menghadirkan paradoks. Di satu sisi menjanjikan pemasukan negara, ribuan lapangan kerja, dan geliat ekonomi lokal. Namun di sisi lain membawa kecemasan: pencemaran laut, kerusakan hutan, hingga ketimpangan sosial.

“Tambang selalu membawa dua wajah. Ada manfaat ekonomi, tapi juga ada kerusakan ekologis yang tak mudah dihitung,” ujar Dwi Sawung, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional, beberapa waktu lalu.

Ketika AMMAN mengambil alih operasi, publik menunggu: wajah mana yang akan lebih dominan? Perusahaan lalu memperluas program tanggung jawab sosial yang mereka sebut Social Impact Programs. Bidangnya mencakup kesehatan, pendidikan, pemberdayaan ekonomi, hingga rehabilitasi lingkungan.

Bibit harapan di lahan tandus

Pagi itu di Desa Benete, puluhan ibu memakai caping, menanam bibit mangrove di tanah berlumpur pesisir. Program rehabilitasi pesisir ini dibiayai AMMAN dengan target ribuan bibit setiap tahun. Menurut Sustainability Report PT Amman Mineral Nusa Tenggara 2023, sejak 2018 sudah lebih dari tiga juta pohon ditanam di area reklamasi tambang dan kawasan pesisir Sumbawa Barat.

Selain mangrove, perusahaan juga mengembangkan program agroforestri di lahan bekas tambang. Warga dilatih menanam kopi robusta, kakao, hingga buah-buahan tropis.

“Kalau hutan rusak, anak cucu kita yang susah. Setidaknya ada yang kita tinggalkan,” kata Hamid Abdullah, 52 tahun, petani Desa Sekongkang Atas yang mengikuti program sejak 2019.

Meski begitu, sejumlah pengamat lingkungan mengingatkan bahwa reklamasi tambang bukanlah obat mujarab. MiningWatch Canada (2021) menulis bahwa reklamasi jarang benar-benar mengembalikan ekosistem ke kondisi semula. Bekas lubang tambang, kata laporan itu, adalah luka permanen yang hanya bisa ditutupi, bukan disembuhkan.

Dari posyandu hingga beasiswa

CSR AMMAN juga menyasar kesehatan. Di dusun-dusun sekitar Maluk, posyandu kini lebih teratur. Bidan mendapat pelatihan, ibu hamil memperoleh tambahan gizi, dan balita ditimbang secara rutin.

Di sektor pendidikan, ratusan pelajar Sumbawa Barat menerima beasiswa tiap tahun. Beberapa bahkan melanjutkan kuliah di Jawa. “Dulu sekolah tinggi itu mimpi bagi anak desa. Sekarang peluangnya lebih besar,” ujar Sari Wahyuni, 20 tahun, mahasiswi asal Maluk penerima beasiswa ke Universitas Mataram.

Menurut Sustainability Report AMMAN 2022, perusahaan mengalokasikan sekitar USD 12 juta (sekitar Rp180 miliar) untuk program sosial dan lingkungan sepanjang 2020–2022. Angka yang tergolong besar

Pemberdayaan ekonomi: dari bengkel hingga tenun

Di Desa Tatar, kelompok ibu menenun songket motif Samawa. Tenun mereka kini dipasarkan melalui toko binaan AMMAN dan dipamerkan di ajang pariwisata nasional. Di Maluk, pelatihan kewirausahaan melahirkan usaha bengkel motor, kios kelontong, hingga warung kopi.

“Kami ingin masyarakat tidak sekadar jadi penonton tambang, tapi ikut tumbuh dengan usaha sendiri,” kata Rachmat Makkasau, Presiden Direktur PT Amman Mineral Nusa Tenggara, dikutip Bisnis Indonesia, Mei 2023.

Namun, tidak semua usaha binaan bertahan lama. Riset Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram (2022) menemukan, sebagian besar usaha kecil hasil program CSR hanya hidup di fase awal. Banyak gulung tikar setelah subsidi atau pendampingan berakhir. “Pola pikir masyarakat masih sangat tergantung pada perusahaan. Begitu dilepas, sulit berlanjut,” tulis laporan itu.

Janji dan kenyataan

Meski program CSR berjalan, bayang-bayang persoalan lingkungan tetap hadir. WALHI NTB (2022) menyoroti potensi pencemaran laut akibat pembuangan limbah tambang (tailing) di Teluk Senunu.

AMMAN menyatakan sistem Submarine Tailing Disposal (STD) mereka aman, sesuai regulasi, dan diawasi lembaga independen. Namun, sebagian nelayan merasakan hal lain.

“Dulu bisa dapat sepuluh kilo sehari, sekarang kadang cuma dua kilo,” keluh Mahsun Hidayat, 44 tahun, nelayan Desa Benete. Baginya, pelatihan nelayan atau bantuan sembako tak bisa menandingi laut yang makin miskin ikan.

Inilah wajah ganda CSR: di satu sisi menanam bibit harapan, di sisi lain berhadapan dengan luka ekologis yang lebih sulit ditutup.

CSR dalam lanskap nasional

AMMAN bukan satu-satunya pemain dengan janji hijau. PT Freeport Indonesia membangun rumah sakit modern di Mimika dan Institut Pertambangan Nemangkawi. PT Vale Indonesia di Sorowako, Sulawesi Selatan, mendirikan kawasan permukiman dengan sekolah dan rumah ibadah.

Namun, pola umumnya mirip. Menurut studi Bank Dunia, Extractive Industries and Sustainable Development in Indonesia (2010), CSR di sektor tambang lebih sering jadi instrumen legitimasi ketimbang solusi struktural. Masyarakat tetap rentan terhadap dampak sosial-lingkungan, sementara ketergantungan ekonomi pada tambang sulit diputus.

Suara dari tepi tambang

Di warung kopi di Maluk, beberapa pemuda bercakap. Mereka menyebut tambang sebagai “kutukan sekaligus berkah.” Kutukan karena ekonomi mereka tergantung pada satu sektor; berkah karena tanpa tambang, mungkin jalan aspal, listrik stabil, dan sinyal internet tak akan sampai ke desa.

“Kita harus pintar ambil peluang. Kalau hanya mengeluh, ya susah,” kata Yudi Pratama, 24 tahun, pemuda Desa Maluk yang membuka co-working space kecil. Modal awalnya berasal dari hibah program AMMAN.

Namun, Laila Nurhayati, 31 tahun, guru SD di Maluk, bersuara lebih kritis. “Beasiswa memang membantu, tapi kualitas pendidikan sehari-hari tetap ketinggalan. Banyak sekolah masih kekurangan guru dan fasilitas,” ujarnya.

Senja di Maluk. Agus Salim kembali menyalakan rokok di depan bengkelnya. Ia bersyukur atas program yang membantunya, tapi juga realistis. Jika tambang berhenti suatu hari nanti, ia tak yakin bengkel kecilnya bisa bertahan.

“Selama ada tambang, ada peluang. Kalau nanti habis, entahlah,” katanya pelan.

Begitulah wajah janji hijau di tepi tambang: rapuh, sementara, tapi tetap memberi secercah harapan. CSR hadir sebagai penopang, namun bukan fondasi kokoh. Pada akhirnya, masyarakatlah yang harus menemukan cara berdiri sendiri—dengan atau tanpa tambang.

Epilog

Richard M. Auty dalam Resource Curse: The Political Economy of Mineral Exporting Countries (1993) mencatat, kekayaan sumber daya sering membawa paradoks: alih-alih kesejahteraan berkelanjutan, yang muncul justru ketergantungan dan kerentanan. CSR hanyalah satu babak dari drama panjang itu.

Pertanyaannya kini: mampukah AMMAN menepati janji hijaunya? Ataukah hanya akan dikenang sebagai catatan kaki dalam sejarah tambang Indonesia—sebuah janji yang tampak lebih hijau di atas kertas ketimbang di tanah tempat masyarakat berpijak?

(BSM)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Buyung Sutan Muhlis

Artikel Terkait

OPINI