Pernah damai, pria di Dompu kembali cabuli disabilitas keempat kalinya

kicknews.today- Seorang perempuan disabilitas inisial AM asal Kecamatan Dompu Kabupaten Dompu kembali mendapat perlakuan bejat dari pria inisial AL. Didampingi kuasa hukumnya, Juanda SH MH, korban kembali melaporkan ke Polres Dompu, Rabu (22/6).

Kasus itu bukan pertama kali dialami korban. Sebelum, korban pernah dilecehkan oleh terduga pelaku, namun berakhir damai di kantor desa.

“Kali ini, pihak keluarga menolak damai dan berharap kasus ini diusut tuntas,” tegas Juanda.

Juanda mengaku, korban AM merupakan keluarga miskin, mengalami gangguan mental. Kasus pencabulan ini merupakan keempat kalinya dialami oleh korban, dengan pelaku yang sama.

“Ini yang keempat kali korban mengalami pelecehan dengan pelaku yang sama. Pada kasus kedua ada surat perdamaian dan pernyataan tingkat desa,” ungkapnya.

Juanda menyatakan bahwa pada kejadian keempat ini, awalnya kembali ada upaya perdamaian dari pemerintah desa dan pihak Bhabinkamtibmas. Namun, korban dan keluarga menginginkan keadilan dan memberi sanksi tegas kepada Pelaku, serta kejadian serupa tidak terulang dan memakan korban lain. Walau diakui banyak pihak yang melakukan perlawanan terhadap upaya itu.

“Korban mencari keadilan, jangan sampai terjadi lagi dan memakan korban lain,” tegasnya.

Untuk itu, korban dan Juanda memutuskan untuk tetap mendesak terpenuhinya keadilan melalui proses peradilan pidana. Pada Rabu (22/6), korban dimintai keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh penyidik Polres Dompu.

“Untuk korban gangguan mental, penyidik minta kami ambil keterangan di Rumah Sakit Jiwa. Harapan kita kasus ini diatensi, hak-hak korban dipenuhi oleh negara dilaksanakan sesuai aturan,” harapnya.

Sementara itu, Taufan, SH MH dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Mataram juga merespon kasus yang menimpa AM. Ia menyatakan kasus kekerasan seksual memang seperti fenomena gunung es, yang muncul dipermukaan hanya sebagian kecil. Namun sebenarnya kasusnya banyak yang tidak terungkap, terutama banyak korban tidak melapor dan ada upaya menutupi dan perdamaian dari masyarakat dan didukung pihak pemerintah desa dan Polsek.

“Korban cenderung mendapatkan perlakukan tidak adil. Disalahkan ataupun justru dipermalukan. Sehingga korban takut untuk menjadi korban kedua kalinya dari stigma masyarakat,” ucapnya.

Untuk itu, menurutnya aparat penegak hukum, terutama Polsek, perlu tegas dan melindungi hak korban. Bukan justru perlakukan tidak adil.

“Beberapa kali kasusnya didamaikan dan pihak kepolisian terlibat,” ungkap Taufan.

Namun, ada ketegasan melalui U No. 12 Tahun 2022 tentang Penghapusan tindak Pidana Kekerasan Seksual. Bahwa perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak.

Selama ini kata Taufan, permasalahan utama kebanyakan kasus kekerasan seksual minim alat bukti. Aspek hukum pembuktian yang menekankan saksi, masih menjadi titik fokus aparat penegak hukum.

Untuk itu, perlu menjangkau aspek pembuktian dengan ilmu pengetahuan. Misalnya psikologi forensik dan pendekatan viktimologi. Secara hukum, ia pun mengungkapkan hal itu memiliki dasar dan kekuatan hukum.

“Aspek pembuktian kekerasan seksual telah diperkuat dengan lahirnya UU Nomor 12 Tahun 2022, tentang penghapusan tindak pidana kekerasan seksual. Jangkauan alat bukti dapat menggunakan surat keterangan psikolog klinis, psikiater, dokter spesialis kedokteran jiwa, rekam medis, maupun hasil pemeriksaan forensic,” urainya.

Taufan menambahkan, berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2022, keterangan saksi dan/atau korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan satu alat bukti sah lainnya. Serta hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah.

“Untuk kasus AM, cukup keterangan saksi atau korban. Kemudian misalnya diperkuat keterangan psikolog klinis, psikiater, dokter spesialis kedokteran jiwa,” bebernya.

Taufan pun menyinggung soal penggunaan pasal dan sanksi pidana. Menurutnya, untuk korban disabilitas, dapat menghubungkan dengan pasal kejahatan terhadap kesusilaan. Hal itu perlu melihat fakta misalnya adanya kekerasan, ancaman kekerasan, persetubuhan atau perbuatan cabul.

Penggunaan pasal perlu digali fakta. Misalnya hanya perbuatan pelecehan, maka terdapat Pasal 290 ke-1, yang dapat digunakan terkait penyandang disabilitas dan dikaitkan unsur tidak berdaya. Sedangkan jika ada fakta kekerasan atau ancaman kekerasan terdapat Pasal 289. Namun, jika ada fakta persetubuhan dan kekerasan atau ancaman kekerasan maka akan bergeser pada Pasal 285.

“Bagi orang pingsan atau tidak berdaya menggunakan Pasal 286. Tidak berdaya ini dapat ditafsirkan penyandang disabilitas. Maka, jika ada fakta persetubuhan, tidak perlu lagi membuktikan kekerasan atau ancaman kekerasan,” jelasnya.

Untuk sanksi pidana, Taufan menyatakan bahwa UU Nomor 12 Tahun 2022 menegaskan selain pidana penjara, pidana denda, atau pidana lainnya menurut ketentuan Undang-Undang, hakim wajib menetapkan besarnya restitusi terhadap tindak pidana kekerasan seksual yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih. Sanksi pidana ditambah sepertiga jika dilakukan terhadap penyandang disabilitas,” ulasnya.

Taufan juga mengingatkan seluruh stakeholder dengan lahirnya UU Nomor 12 Tahun 2022, karena bukan saja tanggung jawab dan tugas aparat penegak hukum. Bahwa berdasarkan ketentuan perlu diperhatikan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Korban.

“Haknya pemulihan sebelum dan selama proses peradilan yaitu, pemberian aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi korban penyandang disabilitas,” terang Taufan.

Bahkan sebelum UU Nomor 12 Tahun 2022 lahirpun, perlindungan korban disabilitas telah diatur PP 39/2020 tentang akomodasi layak untuk penyandang disabilitas dalam proses peradilan. Untuk menjamin dan aspek-aspek yang harus dipenuhi aparat penegak hukum.

“UU Nomor 12 Tahun 2022 menekankan pada pemenuhan hak korban, tidak saja pada proses penegakan hukum. Tetapi hak-haknya sebagai korban, pemerintah daerah melalui dinas bidang pemberdayaan perempuan juga memiliki tanggung jawab dan tugas,” katanya.

Ia menguraikan bahwa ada amanat pembentukan UPTD PPA, kemudian korban perlu didampingi dan memperhatikan hal-hal kebutuhan korban. Di samping itu, menurutnya aspek pencegahan juga menjadi catatan untuk diperhatikan seluruh pihak, pemerintah, penegak hukum dan masyarakat.

Untuk itu Taufan pun berharap, dari kasus tersebut, memperkuat peran penegak hukum dan pemerintah daerah dalam pemenuhan hak korban.

Dia berharap, korban mendapatkan hak-haknya dan diproses secara adil, momentum ini harusnya sebagai ajang membangun kepercayaan masyarakat kepada penegak hukum. Serta mengirimkan pesan edukasi dan peran masyarakat untuk sama-sama bergerak dan mendukung penegakan hukum yang adil,” harapnya.

“Kita lihat respon struktur maupun kelembagaan hukum merespon kelahiran UU 12/2022 tentang penghapusan kekerasan seksual, juga kembali berharap respon layanan hukum Kepolisian, pelaksanaan PP 39/2020 tentang akomodasi layak untuk penyandang disabilitas dalam proses peradilan. Dan semoga Polda NTB, kembali tidak lupa dan mengingatkan jajaran Polres terkait SOP layanan hukum bagi disabilitas yg dikeluarkan 2020 silam melalui Keputusan Kapolda NTB,” tutup Taufan. (jr)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI