Korban begal jadi tersangka pembunuhan, Pakar Hukum: Tindakan polisi sudah tepat

kicknews.today – Korban begal inisial MR alias Amaq Sinta ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan. Pria 34 tahun asal Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah terpaksa harus membunuh 2 dari 4 begal yang menyerangnya pada Minggu dini hari (10/4).

Dua begal yang dibunuh berinisial OWP, 21 tahun dan PN, 30 tahun. Keduanya merupakan warga Desa Beleka, Lombok Tengah. Sementara dua begal lain kabur saat kejadian.

Penetapan Amaq Sinta sebagai tersangka menuai sorotan publik. Banyak masyarakat yang menyesalkan dan tidak diterima dengan tindakan Aparat Penegak Hukum (APH). Bahkan tidak sedikit yang mengaku bingung dengan aturan hukum di Indonesia.

Direktur PBH LPW NTB yang juga dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Mataram, Taufan Abadi SH.MH juga ikut menanggapi terkait persoalan tersebut. Menurut Taufan, upaya penyidikan sampai dengan penetapan tersangka oleh Polisi terhadap Amaq Sinta sudah sangat tepat.

“Namun, polisi harus menggali dan memuat seluruh fakta guna dihadapkan pada penuntutan oleh Jaksa yang kemudian dapat diputuskan secara adil oleh Hakim,” tegas Taufan, Rabu (13/4).

Mencermati kasus pembunuhan terhadap dua pelaku begal oleh korban Amaq Sinta jelas Taufan, bahwa besar kemungkinan pembunuhan yang dilakukan memenuhi unsur ‘alasan pemaaf, atau ‘alasan pembenar’, sehingga tidak dapat dikenakan pidana. Jika Amaq Sinta melakukan daya paksa, maka sesuai prinsip dasar hukum pidana, keadaan terpaksa atau daya paksa memperbolehkan apa yang tadinya dilarang oleh hukum. Atau jika korban Amaq Sinta melakukan pembelaan terpaksa, maka sesuai prinsip non scripta sed nata lex, bahwa tidak selayaknya orang tersebut dijatuhi pidana.

“Hal tersebut, telah diatur berdasarkan ketentuan hukum pidana, yaitu Pasal 48 dan Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),” sebut Taufan.

Pada Pasal 48 disebutkan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. Kemudian Pasal 49 terdapat dua ayat yang perlu diperhatikan, Pertama, ayat 1 yaitu, barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.

Kedua, ayat 2 pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Dari ketentuan tersebut kata Taufan, secara teoritis, Pasal 48 merujuk pada konsep daya paksa (overmacht) dan Pasal 49 merupakan terjemahan dari pembelaan terpaksa (noodweer).

“Sehingga, dalam menyikapi kasus ini, perlu dicermati apakah termasuk memenuhi unsur daya paksa atau pembelaan terpaksa,” urai Taufan.

Dalam ketentuan Pasal 48 lanjut Taufan, tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah yang dimaksud daya paksa, dan dalam keadaan apa unsur daya paksa dapat diterapkan dalam fakta. Begitupun Pasal 49, tidak ada uraian lebih lanjut indikator ataupun batasan serta garis batas ketentuan Pasal 48 dan Pasal 49. Namun, untuk menjangkau pemaknaan Pasal 48 maupun Pasal 49, dapat memperhatikan tinjauan teoritis maupun penjelasan dalam Memorie van Toelichting (penjelasan KUHP).

Daya paksa pada Pasal 48, dapat digariskan sebagai perbuatan yang dilakukan karena pengaruh atau tekanan dari luar. Sehingga fungsi batinnya tidak dapat bekerja secara normal.

Sedangkan pembelaan terpaksa Pasal 49 ayat 1, harus berupa pembelaan, terlebih dahulu harus ada hal-hal memaksa sebelum perbuatan, seperti serangan maupun ancaman serangan.

Kondisi lain juga diatur Pasal 49 ayat 2, apabila pembelaan terpaksa itu reaksinya keterlaluan, tidak seimbang lagi dengan sifat serangan. Kemudian adanya tekanan yang membuat dirinya tidak normal karena perasaan terguncang jiwanya.

“Terguncang jiwanya ini seperti rasa takut, bingung dan marah,” jelasnya.

Memperhatikan garis-garis ketentuan Pasal 48 dan Pasal 49, maka tentu kembali pada fakta konkrit yang terjadi pada kasus pembegalan korban Amaq Sinta. Sehingga, Polisi harus betul-betul cermat dan teliti dalam menelusuri fakta, untuk menentukan apakah daya paksa, pembelaan terpaksa atau pembelaan terpaksa melampaui batas.

Dari kronologis singkat dari media, apabila korban Amaq Sinta termasuk dalam daya paksa (overmacht), maka harus memenuhi tiga peristiwa pokok yaitu, pemaksaan secara fisik, psikis dan keadaan pertentangan kewajiban hukum satu dengan lain, pertentangan kewajiban hukum dengan suatu kepentingan hukuman dan pertentangan kepentingan hukum satu dengan lain.

Sedangkan pembelaan terpaksa perlu memperhatikan; serangan yang bersifat melawan hukum, bahaya yang bersifat langsung bagi tubuh, kehormatan atau benda milik sendiri atau orang lain, dan keperluan untuk meniadakan bahaya dan tidak ada acara lain.

Pada kasus ini, sangat besar kemungkinan terpenuhi kategori daya paksa atau pembelaaan terpaksa. Karena melihat kejadian pada malam hari dan dilakukan oleh begal (orang yang berpengalaman/catatan kejahatan) dan pelaku berjumlah empat orang. Sehingga, apabila itu dapat dibuktikan sesuai fakta, maka sudah sepatutnya korban Amaq Sinta  tidak dipidana atau dihukum. Sehingga, tinggal membedakan apakah daya paksa atau pembelaan terpaksa. Jika daya paksa, maka pembunuhan itu karena faktor dari luar atau tekanan yang didapatkan sehingga fungsi batinnya tidak dapat bekerja secara normal.

Sedangkan, jika pembelaan terpaksa karena adanya ancaman atau serangan lebih dahulu, dan jika ada kondisi tambahan pembelaan terpaksa melampaui batas (Pasal 49 ayat 2) yaitu apabila serangan korban Amaq Sinta menyebabkan kematian karena guncangan jiwa, harus dibuktikan oleh polisi dengan bantuan ahli psikologis.

“Tapi menurut saya hal ini sulit, karena faktor pelaku adalah tukang begal, membawa senjata tajam dan berjumlah empat orang,” ujar Taufan.

Untuk itu penggalian fakta yang detail perlu dilakukan oleh Polisi untuk sampai pada kategori daya paksa ataukah pembelaan terpaksa. Oleh karena pembentuk undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang bilamana suatu overmacht dan noodweer itu harus dianggap telah terjadi, penentuan diserahkan sepenuhnya kepada hakim untuk menilainya secara bebas.

“Langkah polisi saat ini sudah tepat. Polisi bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan, tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan masuk dalam kategori overmacht, noodweer, ataupun tidak. Tapi , polisi harus menggali dan memuat seluruh fakta guna dihadapkan pada penuntutan oleh Jaksa yang kemudian dapat diputuskan secara adil oleh Hakim,” pungkasnya. (jr)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI