Budayawan Bima: Joki cilik bukan tradisi, tapi budaya asimilasi

kicknews.today- Pernyataan Gubernur NTB Zulkieflimansyah yang menyebutkan stop joki cilik sama halnya menodai tradisi ditanggapi Budayawan Bima, Fahrurizki. Penulis Sejarah dan Budaya Bima ini menegaskan, pacuan kuda dengan melibatkan joki cilik itu bukan tradisi.

“Jelas joki cilik bukan tradisional Bima,” tegas Fahrurizki, Jumat (15/7).

Keterlibatan joki cilik dalam pacuan kuda dalam persepsi kultur Bima menurut Fahrurizki, itu sudah sangat keliru. Itu menunjukan arogansi pemilik kuda maupun panitia pelaksana pacuan kuda.

“Ada pepatah Bima mengatakan ‘Ma Tua Sakontu Ma Toi’. Maknanya, orang-orang dewasa harus bisa mendorong kebaikan dan kreativitas anak-anak untuk masa depan mereka,” jelas pria asal Bima kelahiran 1984 ini.

Dia menegaskan, adanya joki cilik yang dimulai tahun 1960-an ini bukanlah tradisi pacuan kuda Bima pada pakemnya. Secara garis besar dalam pacuan kuda nasional pun penggunaan joki cilik ini sudah melanggar standar peraturan Pordasi.

“Itu budaya asimilisai. Maksudnya, pembauran satu kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru,” katanya.

Penggunaan joki cilik kata Fahrurizki pertama kali dilakukan sejak tahun 1960-an. Saat itu dipakai untuk meringankan laju kuda saat event pacuan.

Pacuan kuda ini kata dia, merupakan budaya barat. Pertama kali digelar oleh pemerintah belanda tahun 1920 untuk merayakan ulang tahun Wilhelmina Belanda. Belanda pada masa itu juga membangun arena pacuan kuda pertama di Manggemaci, Bima.

“Jadi, sangat keliru kalau pacuan kuda dan joki cilik adalah budaya ratusan tahun,” tegasnya.

Pelibatan joki cilik kata Fahrurizki, justeru sangat bertentangan dengan ksatria masyarakat Bima yang dikenal, Anangguru Jara Mbojo (pasukan berkuda kerajaan bima). Dulu, masyarakat Bima diseleksi untuk menunggangi kuda perang. Para pemenang kemudian dikirim ke beberapa daerah seperti Manggarai.

“Jadi, berkuda ini sudah bagian dari falsafah hidup masyarakat Bima. Yakni, Pasaka Mataho, Ngaha Mataho, Wei Mataho dan Jara Mataho,” pungkasnya.

Sebelumnya, Gubernur NTB, Zulkieflimansyah sempat menyinggung soal pelibatan joki cilik pada event pacuan kuda di NTB. Gubernur menyampaikan, joki cilik dan pacuan kuda terlihat sederhana, tapi sesungguhnya tidak semudah yang dibayangkan para pembela hak-hak anak. Butuh waktu dan kesabaran untuk menata dan merubahnya.

Pacuan kuda dengan joki cilik menurutnya, sudah membudaya dan jadi tradisi turun temurun yang usianya puluhan bahkan ratusan tahun. Jadi, kalau melarang penggunaan joki cilik dalam pacuan kuda tradisional sama dengan menodai dan mengganggu tradisi.

“Terlalu vulgar dan demonstratif melarang joki cilik, maka kita akan berhadapan dengan perlawanan ‘kultural’ yang serius dan tidak mudah,” tegas Gubernur.

Di sisi lain, bagi mereka yang paham betul pendidikan dan hak-hak anak tentu punya pembelaan untuk melarang. Anak-anak yang mestinya bermain dan belajar di usianya yang belia tak boleh menyabung nyawa di atas kuda. Apalagi dieksploitasi atas nama hobi dan tradisi.

“Saya pribadi termasuk pada posisi yang kedua ini. Saya terus terang tidak setuju daerah-daerah kita menggunakan joki cilik ini ke depan. Anak-anak kita sudah saatnya tidak boleh jadi korban atas nama tradisi dan lain-lain,” aku Bang Zul dikutip dari laman media sosialnya, beberapa hari lalu.

Tapi lanjut Bang Zul, merubah drastis atau melarang tradisi joki cilik ini bisa juga berbahaya. Karena masyarakat akan diam-diam tetap melaksanakan  kegiatan pacuan kuda dengan joki cilik. Bahaya karena fasilitas kesehatan dan keamanan akan minim bahkan tidak ada.

“Lalu solusinya seperti apa?. Harus mulai mengarah ke joki besar sesuai standard Pordasi. Dan ini perlu waktu dan kita sudah mulai berubah ke arah sana,” jelasnya.

Di beberapa pacuan kuda terakhir sudah ada aturan joki tak boleh lagi terlalu kecil. Minimal 12 tahun dan safety-nya tidak main-main. Apalagi kalau yang berlaga sekarang sudah banyak kuda-kuda besar yang tidak mungkin pakai joki kecil lagi.

“Tapi kalau untuk kuda-kuda kelas TK A, TK B, OA dan OB mungkin joki kecil masih oke lah. Karena memang kuda-kudanya kecil dan relatif tidak berbahaya. Lagian kuda kecil ini nggak bisa juga ditunggangi orang yang besar. Walau tidak berbahaya tetap safety harus maksimal,” kata Bang Zul. Bang Zul mengaku sudah usulkan ke Ketua Pordasi NTB untuk mulai membuat sirkuit standar Nasional yang larinya belok kanan dengan menggunakan kuda kelas besar sesuai aturan Pordasi. Jika ini dilakukan maka, penggunaan joki kecil akan berkurang bahkan tidak ada lagi. (jr)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI