Fabel Politik: Lalu Iqbal & Demokrat

Lalu Muhamad Iqbal dan Ketua DPD Partai Demokrat NTB, Indra Jaya Usman (IJU)
Lalu Muhamad Iqbal dan Ketua DPD Partai Demokrat NTB, Indra Jaya Usman (IJU)

Oleh: Gottar Parra

Dalam naskah lontar Kemodong Aur dikisahkan, para makhluk penghuni hutan belantara baru saja kehilangan pemimpin, karena mangkat. Tak dijelaskan, apakah pemimpinnya itu seekor raja hutan (Harimau) atau Burung Merak, yang hanya sibuk menisik bulu-bulunya yang indah alias selfie? Tak ada keterangan dalam naskah tersebut. Tetapi, yang pasti, kehilangan Raja mereka, telah membuat para binatang yang sulit diatur itu menjadi semakin rusuh. Hidup mereka menjadi kacau-balau. Yang kuat memangsa yang lemah. Harimau dan buaya tak segan-segan menerkam hewan lain yang fisiknya lemah.

Karena tidak mungkin terus-menerus hidup dalam kekacauan, maka mereka pun sepakat untuk memilih pemimpin di antara mereka. Mereka pun berkumpul di sepetak tanah lapang di lembah. Satu persatu makhluk rimba raya itu berdatangan, dengan suara betek-tek bewus-wus, menerabas semak dan duri, dari binatang berkaki empat, berkaki dua, hewan melata, makhluk terbang, hingga cacing di dalam tanah pun, ikut keluar untuk memberikan suaranya pada musyawarah besar yang dihadiri seluruh satwa itu.

Setelah semuanya hadir dan berkumpul dalam sebuah lingkaran besar, setiap perwakilan binatang diberikan kesempatan untuk tampil ke depan (ke tengah lingkaran), untuk menawarkan dirinya menjadi pemimpin dan janji-janji kepemimpinannya, alias visi-misi, menurut istilah modern. Maka majulah para binatang itu satu persatu, dari Harimau, Gajah, Kuda, Sapi, Kerbau, Babi, Anjing, Kucing, Ular, Burung Gagak, Kelelawar, Kodok, Kalajengking, bahkan Ulat dan Cacing, semua diberi kesempatan tampil ke depan untuk menawarkan dirinya menjadi Raja.

Pertama, tampillah Harimau. Sambil melangkah ke tengah lingkaran, Harimau berpidato, “Dari semua penghuni hutan ini, sayalah yang paling pantas untuk menjadi Raja kalian, karena sayalah yang paling kuat di antara kalian.” kata Harimau setengah mengancam, sambil menyeringai, hingga tampaklah taringnya yang runcing.

“Ooh, Harimau, kalau kamu yang jadi Raja, kami semua bakal menderita ketakutan. Setiap saat kamu bisa menerkam kami. Sungguh! Kamu tidak pantas menjadi pemimpin kami.” ujar Domba, khawatir, yang diaminkan oleh yang lain, seperti Kerbau, Sapi, Kijang, Babi, dan lain-lain.

Karena ditolak menjadi pemimpin, Harimau pun kembali ke tempat duduk, di tengah kelompoknya.

Berikutnya giliran Gajah tampil ke depan, menawarkan diri menjadi Raja. “Tidak pantas makhluk bertubuh kecil memimpin kawasan hutan belantara ini. Karena akan diremehkan oleh kerajaan lain.” kata Gajah, memberi ilustrasi, “Yang pantas menjadi Raja itu adalah yang memiliki tubuh besar seperti saya.” tegas Gajah, berusaha meyakinkan.

“Oo, Gajah, kamu sangat tidak pantas menjadi pemimpin. Perutmu terlalu besar.” timpal Kijang yang bertubuh ramping, “Kalau kamu yang jadi Raja, kami tak bakal kebagian makanan. Karena sekali makan kamu menghabiskan dedaunan sebukit.” protes Kijang, tidak setuju, dan diaminkan juga oleh mamalia lainnya, seperti Kambing, Kerbau dan Sapi, bahkan Ulat.

Karena ditolak, Gajah pun undur diri ke belakang lingkaran. Setelah itu, giliran Anjing yang tampil ke depan, menawarkan dirinya menjadi Raja.

“Karena Harimau dan Gajah dianggap tidak pantas menjadi Raja, maka sayalah yang paling tepat untuk mengemban tugas berat itu.” kata Anjing sambil melangkah ke tengah kalangan. Tapi langsung ditimpali oleh Kucing, “Ooh, Anjing, kalau kamu yang jadi Raja, baru melihat bayangan kami saja, kamu langsung menggonggong!” kata Kucing, sinis, “Sayalah yang lebih pantas menjadi Raja, dibanding kalian semua…” lanjut Kucing seraya memasuki lingkaran.

“Apalagi kamu Kucing. Cara berjalanmu saja terseok-seok. Kamu tidak pantas menjadi Raja.” olok Tikus, “Lagi pula, kalau kamu menjadi Raja, kami para Tikuslah yang paling menderita…” Demikian seterusnya, hingga setiap binatang mendapat giliran tampil ke depan, menawarkan diri jadi pemimpin, tapi selalu ditolak atau dikritik oleh yang lain.

Rupanya sang pujangga Sasak yang diperkirakan hidup di abad 12 M (jauh sebelum Fariduddin Attar, penulis buku Mantiqut Thair, Konser Burung) itu, sengaja meninggalkan “teka-teki”, agar imajinasi kita menjadi kreatif dalam melahirkan tokoh-tokoh berkarakter (baca: memilih pemimpin) untuk masa depan kita. Bahkan, sampai di akhir kisah, sang pengarang (anonim) itu tampak secara sengaja merahasiakan figur satwa yang akhirnya dipilih menjadi pengganti Raja yang mangkat.

Akhir cerita yang sengaja digantung ini, tentu menjadi pokok perenungan mendalam bagi kita yang hidup hari ini, apalagi sesaat lagi kita akan memilih pemimpin (Gubernur), yang akan menentukan jalan hidup kita 5 tahun ke depan. Kisah fabel yang lahir dari local genius manusia Sasak ini tentu memiliki arti penting dan strategis dalam mengedukasi masyarakat, agar tidak bermain-main dalam memilih pemimpin, apalagi sampai menukarnya dengan mi instan atau serangan fajar Rp 50 ribu, itu sama dengan menghina martabat manusia, sehingga calon pemimpin seperti itu tidak layak dipilih.

Setelah bekerja dengan tekun dan sungguh-sungguh, bertukar pikiran dan menjaring masukan dari banyak pihak di daerah dan pusat, akhirnya Partai Demokrat menemukan figur terbaik yang akan memimpin NTB lima tahun ke depan. Dia adalah mantan Duta Besar Indonesia untuk Turki, Dr.H. Lalu Muhamad Iqbal, pria berdarah campuran Sasak-Jawa, yang telah memiliki banyak pengalaman menangani masalah-masalah pelik terkait urusan kemanusiaan dan persoalan global lainnya. Kemampuannya yang telah teruji itu, tentu akan sangat bermanfaat dalam membangun NTB ke depan.

Ditemukannya figur “Lalu Iqbal” ini tentu tidak lepas dari pengelihatan visioner Indra Jaya Usman (IJU), Ketua DPD Partai Demokrat NTB, yang telah meyakinkan pihak DPP, sehingga memberi mandat kepada putra terbaik bangsa kelahiran Dusun Ketejer, yang pada tahun 1972 belum diterangi listrik itu. Tapi dari dusun kecil dengan tanah sawahnya yang terbelah retak itu telah lahir seorang “juru selamat” yang telah menyelamatkan banyak nyawa TKI yang siap dipenggal!

Keterangan:

Dialog tokoh-tokoh dalam naskah lontar Kemodong Aur, sebuah cerita fabel berbahasa Sasak ini, saya kutip berdasarkan ingatan, bukan merupakan kutipan langsung dari karya sastra yang sangat indah itu. Karena naskah yang saya baca puluhan tahun lalu itu tidak saya temukan lagi keberadaannya. (*)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Gottar Parra

Pegiat literasi orang Sasak

Artikel Terkait

OPINI