kicknews.today – Keberadaan Kecimol di Lombok Timur masih menjadi pro kontra di masyarakat. Banyak pihak berharap bahwa Kecimol agar tetap dilestarikan di tengah masyarakat.
Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB, Dr Ahsanul Khalik, S.Sos, M.H ikut angkat bicara terkait keberadaan Kecimol di Lombok. Menurut Khalik, harus tetap dipertahankan.

“Jangan asal bubarkan atau menolak Kecimol, karena itu bukan menyelesaikan masalah,” kata Khalik, Jumat (7/6/2024).
Khalik menegaskan, pembubaran Kecimol malah bisa menimbulkan persoalan sosial baru, bisa berpengaruh terhadap situasi kondisi ketentraman dan ketertiban masyarakat yang tidak baik. Bahkan kata dia, mengganggu kondusifitas dan keamanan daerah, karena sisi lain dari keberadaan Kecimol juga harus dipikirkan.
“Kita sepakat kalau masalahnya adalah erotisme, tapi kita juga harus pahami erotisme ini sebenarnya tidak di kecimol saja,” jelasnya.
Pada zaman dulu lanjut Khalik, ada juga Jangger dengan alat musik Gamelan yang bahkan erotismenya bisa melebihi tarian Kecimol saat ini. Hanya saja, Jangger ini mereka atraksinya diam di satu tempat dan dulu juga tidak ada media sosial (Medsos) dan belum ada HP sehingga tidak muncul menjadi persoalan yang dipermasalahkan secara luas.
“Tentu kesepakatan kita erotisme ndak boleh ada, tapi saya ingin katakan erotisme ini bisa terjadi pada berbagai kasus, tidak saja di Kecimol, dan yang ada terang benderang saat ini di depan kita adalah Kecimol ini. Tapi lagi-lagi kita tidak bisa serta merta mengambil sikap bubarkan Kecimol,” tegasnya lagi.
Kecimol ini kata Khalik, sesungguhnya dari sisi sosial bisa jadi perekat untuk menjaga kondisi sosial yang menjamin terciptanya relasi dan interaksi sosial antar warga masyarakat yang dinamis. Kemudian selaras, dan seimbang untuk hidup berdampingan secara damai berdasarkan kesetaraan, kebersamaan, dan persaudaraan sejati.
“Kalau mereka diberikan garis batasan mana yang boleh, mana yang tidak, sehingga tumbuh keserasian sosial di tengah masyarakat,” ujarnya.
Kecimol juga harus disadari merupakan hasil olah seni masyarakat Sasak yang merupakan pembauran antara budaya lama dengan budaya yang berkembang saat ini. Pembauran ini tidak bisa dihindari, tapi tetap kemudian merupakan hasil karya seni yang harus dilakukan pembinaan oleh para pemangku adat, agar tidak melanggar norma adat yang dimiliki Bangsa Sasak.
“Karena Sasak memang memiliki adat yang adi luhung dan menempatkan nilai-nilai agama pada porsi yang tinggi,” katanya.
Harus dipahami juga pada kondisi kekinian, Kecimol juga menjadi penguat ekonomi untuk penghidupan para pemainnya. Tugas pemerintah sekarang adalah merumuskan aturan main bagi Kecimol agar tidak erotis, agar tidak memancing perkelahian atau tidak juga tidak menimbulkan kemacetan lalu lintas saat Kecimol mengiringi pengantin yang nyongkolan.
Dan yang bisa merumuskan garis batas berupa aturan main itu tentunya para pemangku adat yang kemudian diformalkan oleh pemerintah. Tapi jangan lupa komunitas Kecimol diajak untuk merumuskan, sehingga tidak dibuat sepihak, tanpa melibatkan komunitas Kecimol.
“Kalau mereka sudah diajak membahas, maka tentunya mereka juga akan menyepakati apa sanksi yang diterima kalau ada pelanggaran. Lalu secara bertahap dilakukan evaluasi dan pembinaan sehingga Kecimol menjadi hasil seni masyarakat Sasak yang beradab. Tentu ini tidak mudah tapi kita harus mulai dan terus berikhtiar bersama untuk melakukan pembenahan terhadap Kecimol,” pungkasnya. (jr)