kicknews.today – Penggunaan sepeda listrik belakangan ini cukup ramai dipakai di jalan raya. Termasuk di Pulau Lombok. Hanya saja, hingga saat ini belum ada Undang-undang yang mengatur secara spesifik terkait penggunaan sepeda listrik tersebut.
Satuan Lalulintas Polres Lombok Barat, Polda NTB sudah mensosialisasikan penggunaan sepeda listrik di masyarakat. Sebab, mengendarai sepeda listrik di jalan raya dianggap berbahaya. Baik pengguna ataupun orang lain, sehingga membutuhkan jalan khusus tersebut bila tersedia.
Kasat Lantas Polres Lombok Barat Iptu Agus Rachman, SH mengatakan, perbedaan antara motor listrik dan sepeda listrik dapat dilihat di dua peraturan yang terpisah.
“Sejatinya terdapat perbedaan antara motor listrik dan sepeda listrik itu berbeda. Masyarakat, harus paham untuk membedakan mana motor listrik dan mana sepeda listrik,” jelas Kasat belum lama ini.
Sepeda listrik menurutnya, hanya digunakan pada kawasan tertentu, seperti kawasan wisata, komplek perumahan, kantor, lapangan dan lain-lain.
“Jika menemukan beroperasi di jalan raya, maka kami tidak segan-segan akan menindak tegas,” katanya.
Selain itu, sepeda listrik yang minim kelengkapan tersebut berada di jalur yang sama dengan kendaraan lain bisa mengganggu dan membahayakan diri dan pengguna jalan lain. Sedangkan sepeda motor listrik perlu sudah dilengkapi lampu rem, lampu sein, dan speedometer dan lain sebagainya.
Dalam mengendarai sepeda motor listrik harus sudah memiliki SIM, mengenakan jaket, celana panjang, helm dan sepatu sebagai keselamatan diri. Sedangkan sepeda listrik syaratnya, berusia lebih dari 12 tahun dan memakai helm.
“Jadi, sepeda listrik dan sepeda motor listrik itu berbeda dan tidak boleh dioperasikan dalam satu jalur. Melainkan harus dipisahkan antara keduanya biar aman dalam berkendara,” imbuhnya.
Sedangkan aturan soal sepeda motor listrik terdapat pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 44 Tahun 2020. Tentang pengujian tipe fisik kendaraan bermotor dengan motor penggerak menggunakan motor listrik. Dalam aturan ini ditetapkan sepeda motor listrik memiliki Sertifikat Uji Tipe (SUT) untuk membuktikan telah lulus uji tipe Kemenhub.
Untuk sepeda listrik diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 45 Tahun 2020, tentang kendaraan tertentu dengan menggunakan penggerak motor listrik.
“Selain sepeda listrik, aturan ini juga mengatur tentang otopet, skuter listrik, hoverboard, dan sepeda roda satu,” pungkasnya.
Direktur PBH LPW NTB Taufan Abadi menyebutkan, penggunaan sepeda listrik sudah seharusnya diatur secara spesifik dengan Undang-undang (UU). Mengingat, penggunaan sepeda listrik belakangan ini sudah cukup ramai di jalur umum dengan kecepatan di atas 25 kilometer per jam.
“Kalau UU khusus memang belum ada. Yang ada masih terbatas peraturan teknis Permenhub,” kata Taufan.
Permenhub juga kata Taufan, hanya mengatur detail dan cara menggunakan, spesifikasi dan lain-lain. Permenhub tidak memiliki sanksi administrasi maupun pidana.
“Untuk sanksi pidana dalam konsep peraturan perundang-undangan, yang boleh mencantumkan hanya UU dan Perda,” terangnya.
Jika ada pelanggar menurutnya, polisi boleh menggunakan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas jalan. Namun, perlu ada pengaturan khusus dalam UU agar tidak ada masalah hukum ke depan.
“Kalau penggunaannya di luar ketentuan Permenhub, misalnya pengguna kendaraan tidak pakai helm, lajur umum. Maka, untuk kepentingan penegak hukum, polisi bisa melakukan penindakan. Tapi, harus dihindari menerapkan ketentuan pidana, kecuali ada keadaan lain, misalnya membahayakan orang lain. Nanti disesuaikan dengan pasal pidana lain,” sebut Taufan.
Ketentuannya nanti lanjut Taufan, akan disesuaikan. Bukan soal kepemilikan sim atau STNK, tapi pelanggarannya soal penggunaan jalur, atau kecepatan di atas 25 kilometer per jam. Karena itu, perlu dilihat detail pelanggarannya sesuai Permenhub.
“Saya pikir ke depan perlu diatur spesifik setingkat UU. Saya belum tahu, apakah kepolisian apa sudah ada Perkapnya atau belum untuk penindakan khusus motor listrik. Kalau seandainya belum, maka polisi belum bisa melakukan penindakan penilangan, hanya sekadar menertibkan,” pungkasnya.
Bicara aturan kata Taufan, sepeda biasa pun sebenarnya tidak bisa pakai lajur umum, harus khusus lajur sepeda. Walaupun membahayakan sepeda biasa juga kena, tapi bukan gunakan UU lalu lintas, sesuaikan dengan perbuatannya.
“Jangankan gunakan sepeda, jalan kaki juga kan harus nyebrang di zebra cross,” sebutnya.
Solusinya untuk masyarakat di NTB kata Taufan, pengguna sepeda listrik sesuai permenhub, membatasi penggunaan, cukup di kawasan perumahan atau permukiman, CFD, kawasan wisata yang diperuntukan. Karena pada dasarnya sepeda listrik itu kecepatan maksimal 25 kilometer per jam, akan membahayakan pengguna ataupun orang lain kalau tidak mematuhi ketentuan.
“Memfungsikan lajur sepeda, namun masalahnya lagi lajur sepeda masih terbatas dan jika pun ada tidak optimal. Karena banyak kendaraan parkir sembarangan, pedagang, dan digunakan juga oleh sepeda motor,” tutupnya. (jr)