Dampak perang Rusia-Ukraina, ISESS: Kalau panjang Indonesia borong senjata

kicknews.today – Perang antara negara Rusia dan Ukraina menarik perhatian dunia. Termasuk Indonesia sejatinya patut mewaspadai dampak perang kedua negara di Eropa itu bagi pertahanan, sosial hingga ekonomi.

Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, tidak akan ada dampak langsung dalam jangka pendek bagi pertahanan dan keamanan Indonesia. Namun jika berlarut dan meluas, akan sulit bagi Indonesia untuk menghindari dari dampak konflik antara kedua negara tersebut.

“Apalagi Amerika Serikat dan Inggris, dua negara dominan dalam Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Juga ditengarai ikut andil dalam memperuncing perseteruan Rusia-Ukraina,” ungkap Fahmi.

Konsekuensinya kemudian, selain kawasan bertetangga di Eropa, negara-negara Asia juga akan bersiap mengantisipasi ancaman perang yang meluas. Artinya, akan ada penyesuaian peta konstelasi dan rencana kebutuhan untuk memperkuat dan meningkatkan kapabilitas pertahanan masing-masing.

“Keterlibatan Amerika Serikat dan Inggris tak bisa sekadar dilihat dari perspektif politik NATO. Dua negara ini adalah produsen Alutsista. Konflik yang berpotensi meluas akan memicu perlombaan dan pembelian Alutsista secara besar-besaran,” sebutnya.

Akan ada peluang lebih besar bagi mereka dan para sekutu untuk menjual produknya di dua kawasan tadi, termasuk Indonesia. Masalahnya, tidak semua negara sedang dalam keadaan siap untuk memborong Alutsista. Pandemi telah melemahkan kemampuan fiskal negara-negara itu.

“Nah, para penjual senjata akan datang dengan skema menarik. Seperti tawaran hutang dengan suku bunga rendah dan tenor lebih panjang serta iming-iming sederetan skema offset maupun kemitraan strategis yang susah ditolak,” terang Fahmi.

Tentu saja, ada berbagai syarat dan ketentuan yang berlaku, yang pada dasarnya merupakan ancaman terhadap kedaulatan negara. Baik dibidang politik, ekonomi maupun sosial budaya. Selain memperkuat hegemoni dengan membonceng potensi konflik yang meluas, targetnya ya cuan.

“Perang belum tentu meluas. Namun kekhawatiran yang meluas, akan lebih dulu menguntungkan negara-negara produsen Alutsista yang sebagian besar menjadi bagian dari aliansi Barat,” sebutnya.

Pada dasarnya, membandingkan kekuatan militer Rusia dan Ukraina, jelas seperti gajah dan semut. Rusia unggul dalam banyak aspek. Mulai SDM, Alutsista, sarana prasarana maupun logistic. Ukraina untuk menggelar perang darat dan udara jauh tertinggal dari Rusia.  Apalagi untuk bisa berperang dalam durasi yang panjang.

Namun sejatinya, tidak ada negara yang benar-benar ingin berperang. Negara yang berwatak ekspansionis sekalipun, seperti Rusia. Apalagi dalam durasi yang panjang.

“Jika Rusia tak bisa menuntaskan penaklukannya dalam waktu singkat, saya kira pada akhirnya mereka akan kembali ke meja perundingan,” tuturnya.

Perang atau konflik terbuka dengan pengerahan kekuatan militer kerap kali diposisikan sebagai aksi pamungkas ketika kekuatan salah satu negara yang saling berhadapan sudah melemah secara signifikan. Atau sebaliknya, gelar kekuatan militer menjadi perangkat paksa yang efektif untuk membawa kembali upaya penyelesaian konflik ke meja perundingan setelah kebuntuan politik sebelumnya.

“Barat dan NATO saya kira tidak akan buru-buru melibatkan diri dalam pertikaian Rusia-Ukraina. Mereka akan melakukan kalkulasi untung-rugi secara cermat melalui apa yang disebut sebagai ‘gradual response plan’. Saat ini yang dilakukan baru sebatas memberi tekanan pada Rusia untuk menghentikan pergerakan militernya melalui beragam ancaman sanksi dan embargo ekonomi. Juga dengan membangun persepsi bahwa invasi Rusia itu sebagai sesuatu yang terencana, tidak beralasan dan keji.

“Partisipasi langsung NATO baru akan mungkin terjadi jika Rusia ternyata tak bergeming namun tak mampu juga untuk sesegera mungkin menundukkan Ukraina. Atau sebaliknya, jika ekspansi Rusia itu dinilai sangat mungkin meluas sehingga mengancam dominasi Barat dan NATO terutama Amerika Serikat-Inggris dan berpotensi mengubah konstelasi global yang merugikan mereka,” kata Fahmi.

Sederhananya, prioritas Barat dan NATO terutama Amerika Serikat dan Inggris saat ini adalah mengingatkan Rusia untuk tidak berlebihan sehingga mengancam kepentingan mereka. Sekaligus di sisi lain, melihat peluang mendapatkan manfaat lebih besar dari konflik itu dengan membangun persepsi bahwa mereka berpihak pada Ukraina sebagai negara berdaulat. Mereka mentolerir Rusia yang kuat. Tapi tidak akan mentolerir Rusia merusak tatanan global dan ‘bisnis’ mereka.

Lantas, bagaimana dengan anggapan bahwa posisi tawar dan daya paksa Barat dan NATO melemah dengan indikasi bahwa Rusia tetap berani berulah meski sejumlah sanksi mengancamnya. Sanksi Barat yang lebih keras baru muncul setelah Rusia berulah, bukan sebelumnya.

Dari sudut pandang lain bisa dilihat bahwa Amerika Serikat dan NATO memang ikut andil ‘mengkondisikan’ agar Rusia berulah. Secara bisnis itu menciptakan peluang mereka mendapatkan benefit dan profit lebih besar. Sebelum kemudian menghentikan Rusia mencoba berulah lebih jauh.

Menurut Fahmi, cepat atau lambat, perang ini hanya akan berakhir dengan Ukraina yang tetap atau makin lemah serta Rusia yang tetap pada status quo-nya dalam peta kawasan maupun global. Mereka yang menginginkan Rusia lemah, belum mampu mendapatkan atau menghadirkan momentum seperti di ujung era Uni Soviet dan Gorbachev.

“Sebaliknya, yang membayangkan Rusia akan lebih kuat pascakonflik, berarti meragukan kemampuan negara-negara Barat dan NATO memaksa perundingan sekaligus meraup untung dari dinamika kawasan dan dampak globalnya,” pungkasnya. (jr)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI