Bima Darurat Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Oleh: M. Al Qautsar Pratama, M.Hum

Aksi biadab para predator seksual di Bima semakin tidak terkendali. Hari demi hari berita tindakan kekerasan menghiasi portal berita online atau hanya sekedar lewat di beranda sosial media warganet. Anak-anak adalah sasaran empuk para budak nafsu yang keji melakukan tindakan tidak senonoh kepada mereka makhluk tuhan yang polos tidak berdosa.

Kondisi seperti ini diperparah dengan adanya pandemi Covid-19 saat dimana seluruh lapisan masyarakat terkesan memusatkan perhatian kepada isu pandemi sehingga di lingkungan sosial hilang kontrol terhadap pengawasan tindakan kekerasan sebagai sebuah ancaman serius kedepan bagi anak-anak kita.

Kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak biasa saja terjadi dimanapun dan dalam kondisi apapun, baik kekerasan seksual yang dilakukan dilingkungan rumah, maupun saat berada di luar rumah. Menurut Kasubdit IV Ditreskrimum Polda NTB Ni Made Pujawati dalam sebuah wawancara menyatakan bahwa di masa pandemi kasus kekerasan terhadap anak meningkat tajam. Peningkatannya mencapai 40 persen lebih. Terhitung dari Januari hingga Mei 2020 ada sebanyak 89 kasus yang ditangani.

Koordinator Bidang Hukum dan Advokasi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB Joko Jumadi  mengatakan, pandemi Covid-19 ini juga mempengaruhi peningkatan kasus asusila. Karena, di masa pandemi ini, anak-anak tidak mendapatkan kegiatan yang positif. Dari hasil penelusuran penulis, beberapa waktu terakhir kasus kekerasan seksual berujung pada hilangnya nyawa korban sering terjadi di Bima. Fenomena ini seperti gunung es.

Oleh karena itu, kita harus menekankan betapa pentingnya untuk mewaspadai maraknya fenomena ini dan memikirkan cara menanggulanginya. Pada pertengahan Mei 2020 terjadi pembunuhan dan pemerkosaan terhadap seorang anak perempuan di Kota Bima. Korban ditemukan tergantung di depan kamar. Kasus ini menghebohkan masyarakat Bima hingga Komnas Perlindungan Anak turun tangan menangani lansung kasus ini.

Kemudian dilanjutkan pada akhir Desember 2020 seorang kakek biadab tertangkap basah tega mencabuli anak umur 11 tahun disebuah rumah kosong. Ironisnya menurut pengakuan pelaku sudah berkali-kali melakukan aksi keji tersebut.

Masih segar diingatan seorang bocah berusia 10 tahun dari Kota Bima baru-baru ini meninggal akibat dari kekerasan seksual yang dialaminya. Korban meninggal setelah mengalami demam tinggi dan ditemukan luka robekan di area kemaluan dan duburnya. kasus yang paling membuat geleng-geleng kepala yakni seorang ibu tega melecehkan anak kandungnya yang baru berusia 3 tahun. Kejadian ini terjadi awal tahun 2021, dari hasil penyidikan polisi menyebutkan tersangka mengakui perbuatannya dilakuan karena lama tidak dibelai sang suami yang tinggalnya di Pulau Lombok akibat pandemi COVID-19.

Kasus semacam ini tidak hanya terjadi sekali dua kali namun berkali-kali dengan pola yang sama dan menyasar sasaran anak-anak dibawah umur.Yang menjadi pertanyaan adalah maraknya kasus kekerasan seperti ini salah siapa?.

Tindakan kekerasan seksual biasanya dilakukan oleh orang-orang terdekat korban sehingga sulit untuk ditelusuri. Patricia A Moran dalam buku Slayer of the Soul, 1991, mengatakan, menurut riset, korban pelecehan seksual adalah anak laki-laki dan perempuan berusia bayi sampai usia 18 tahun. Kebanyakan pelakunya adalah orang yang mereka kenal dan percaya.

Tindak kekerasan terhadap anak-anak baru memperoleh perhatian publik lebih serius takala korban-korban tindak kekerasan yang dilakukan orang dewasa kepada anak-anak jumlahnya makin meluas, korban bertambah makin banyak dan menimbulkan dampak yang sangat menyengsarakan bagi anak-anak. Menurut saya, banyak faktor yang menjadi alasan tindakan kekerasan seksual terhadap anak-anak kita sering terjadi. Untuk mengetahui motif munculnya kekerasan seksual terutama terhadap anak-anak, dapat merujuk pada pemikiran dari Sigmund Freud seorang psikolog terkenal terutama dalam bidang psikoanalisa.

Berdasarkan teori dari Sigmund Freud bahwa ada dua hipotesis, yaitu manusia memiliki dorongan untuk melindungi diri (the drive of self preservation) dan dorongan untuk berkembang biak (the drive toward procreation). Terkadang dorongan untuk berkembang biak ini dikaitkan dengan libido, namun tidak semua libido bisa disalurkan karena ada batasan-batasan sosial yang sudah diatur dalam lingkungan masyarakat. Bentuk libido ini disalurkan secara positif dan negatif. Lingkungam sosial yang mengatur dorongan libido harus disalurkan seperti apa perlu dilakukan kontrol sosial jika terjadi kelalaian maka hal ini tidak menutup kemungkinan akan mendorong munculnya tindakan-tindakan pengalihan libido dalam bentuknya yang negatif. Pengalihan dalam bentuk yang negatif inilah yang dinamakan dengan kekerasan seksual. Faktor pertama, minimnya kesadaran kolektif terhadap perlindungan anak di lingkungan bisa berperan cukup signifikan dalam lancarnya tindakan kekerasan.

Orang tua dan lingkungan sosial harus lebih meningkatkan pengawasan terhadap anak-anak setidaknya orang tua tahu anak kita bergaul dimana, dengan siapa, dan sedang apa. Kita sebagai orang tua bertanggungjawab secara bersama-sama untuk mewujudkan kehidupan sosial yang ramah anak dan menjamin perlindungan maksimal terhadap kepentingan dan kebutuhan anak. Kedua, maraknya konten pornografi yang dengan mudah diakses oleh semua orang. Situs porno ikut menyumbang andil sebagai pemicu banyak terjadinya kasus kekerasan.

Pelaku biasanya berimajinasi setelah mnonton konten tersebut dan muncul rasa penasaran untuk mempraktekan apa yang mereka tonton. Ketiga, Lemahnya Penegakan Hukum dan minimnya perhatian pemerintah daerah terhadap isu-isu seperti ini. Proses penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan terkesan rumit dan prosesnya banyak disepelekan.

Proses hukum yang harus dijalani seorang korban tindak kasus seperti ini memerlukan pengorbanan mental yang cukup menguras emosi sehingga membuat korban dan keluarga menghindari proses hukum bahkan hanya berkahir pada jalur mediasi dan negosiasi sebagai contoh kasus pemerkosaan dan pembunuhan bocah 10 tahun di Kota Bima menurut pengakuan pelaku berinisal AR dalam proses pemyidikan oleh Polres Bima mengaku sudah sering kali memperkosa korban. Namun perbuatannya justru dimediasi oleh warga setempat. Padahal secara hukum tindakan pelaku tidak bisa ditanggani melalui jalur mediasi karena akan semakin banyak predator seksual di Bima dengan dalih mediasi namun melakukan perbuatan keji tersebut terus menerus. Pelaku harus dihukum seberar-beratnya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di negera ini.

Ketidakseriusan ini juga ditunjukan oleh Pemda Kota dan Kabupaten Bima. Khusus di Kab. Bima sendiri Bupati Indah Dhamayanti Putri sebagai seorang perempuan kurang memiliki perhatian lebih terhadap isu-isu kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Bupati yang kerap disapa IDP ini lebih memilih mencari cara melegalkan kekuasaan dinasti yang selama ini keluarganya bangun. Perhatian secara khusus dari pemerintah daerah terhadap banyaknya kasus kekerasan seperti ini setidaknya akan berdampak cukup signifikan dalam proses hukum bahkan bisa mengurangi kasus-kasus serupa terjadi dikemudian hari.

Walaupun Pemda Bima mengelurakan Perda No 5 Tahun 2019 tentang Penyelenggaaan Pemberdayaan Perempuan dan Anak, yang terkesan telat. Realisasinya pun tidak dilakukan secara maksimal bahkan hanya sebagai sebuah formalitas ditengah jeritan, tanggisan dan rintahan anak-anak kita kerena mengalami pelecehan seksual. Anak-anak kita perlu perlindungan baik secara hukum, sosial dan pendidikan dari tindakan kekerasan yang mengintai mereka dimanapun berada. Saya berharap kedepanya kita mampu bekerja sama baik dari sektor sosial, hukum, bahkan pemerintah untuk menciptakan lingkungan yang ramah, nyaman, dan aman bagi anak-anak generasi masa depan Bima.

Penulis ialah Dosen Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora UIN Khas Jember

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI