Berharap Gubernur NTB bangkitkan potensi wisata Gula Gending yang terlupakan

kicknews.today – Gula Gending ialah alat musik sederhana yang terbuat dari seng dan tekstil dalam tradisi masyarakat Sasak. Instrumen ini digunakan untuk menjajakan gula kapas (harum manis) yang terbuat dari gula pasir. Oleh karena itu, alat tersebut kemudian dinamakan gula gending yang dimainkan berkeliling ke pelosok kampung guna mengundang perhatian anak-anak.

Sudah lama sekali gula gending ini eksis dalam peradaban. Namun di era saat ini yang serba digital, pertunjukan musik ini menjadi langka dan jarang ditemukan di dalam masyarakat. Hanya sedikit sekali yang bisa mempertahankannya. Padahal tentu saja ini bisa menjadi atraksi wisata budaya yang menarik.

“Instrumen musik gula gending ini dimainkan dengan cara memukulkan 1 jari ke arah kotak kaleng dan jari yang dipukulkan bebas sesuai kemauan pemain,” demikian kata I Nyoman Triyanuartha yang seorang pengkajian Seni Musik Barat, Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni dalam jurnalnya yang berjudul Eksistensi Gula Gending di dalam Dinamika Budaya Lombok.

Dilanjutkan dia, keseluruhan kotak kaleng ialah enam buah namun yang
digunakan untuk menghasilkan nada berjumlah lima buah. Lagu-lagu yang dapat dimainkan oleh pedagang gula gending antara lain: Semarang (Sembarang), Bua Oda (Pinang Muda), Tempong Gunung (Menembus Gunung), Enyek Setoe (tekan sebelah), Turun Tangis (mulai menangis) dan Bao Daya (teduh pikiran).

Nama lagu-lagu tersebut menunjukkan situasi atau lambang. Pada saat lagu dimainkan orang-orang yang tertarik mendengar bunyi-bunyi yang berasal
dari keterampilan pedagang dalam memainkan gula gending akan berkumpul dan tidak jarang kemudian membeli harum manis yang dijual.

Dapat dikatakan bahwa dimainkannya lagu dalam gula gending adalah sebagai cara untuk melakukan promosi terhadap harum manis kepada masyarakat. Dahulu dalam menjajakan harum manis dilakukan oleh dua orang, seorang membawa tangka’ dan yang lain membawa rincik yaitu sejenis alat perkusi dari lempengan logam yang berbentuk bundar.

Pada perkembangannya, Masyarakat Lombok yang sebagian besar pada awalnya memilih profesi sebagai petani dalam memenuhi kebutuhan hidupnya karena pada saat itu daerah ini memiliki budaya agraris. Namun bagi yang tidak memiliki sawah garapan akan mencari profesi lain yang salah satunya menjadi pedagang harum manis yang lebih dikenal dengan sebutan gula gending.

“Pada masa sekarang ini terdapat stereotipe dari masyarakat yang memojokkan pedagang gula gending, seperti jajanan tersebut kurang bersih serta mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan terlebih lagi apabila dikonsumsi terlalu banyak
dapat membuat batuk. Gula gending juga identik dengan konsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah sehingga lambat laun keberadaan gula gending pun jarang dijumpai di Lombok,” demikian sebut Nyoman.

Gubernur NTB bepose bersama pemain gula gending di Pantai Ampenan

Padahal, melihat dari aspek ekonomi maupun pariwisata, gula gending seharusnya dapat dilirik kembali sebagai potensi yang besar untuk mendukung promosi pariwisata seiring dengan dinamika budaya yang terjadi di Lombok yaitu dari agraris menuju pariwisata.

Hali inipun mulai ditunjukan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Dr Zulkieflimansyah. Secara tersirat ia menyampaikan keberpihakannya pada tradisi masyarakat sasak dan melihat potensi pariwisata yang besar dari gula gending ini.

“Tahun boleh saja berlalu, tapi kenangan indah selalu lekat erat di sudut-sudut hati kita yang terdalam. Nah, ini yang dulu selalu saya rindukan dan tunggu-tunggu. Apa ada yang mengalaminya juga?” kata Bang Zul, sapaan akrab Gubernur NTB pada laman media sosialnya ketika pagi hari mengunjungi Pantai Ampenan, Minggu (3/1). (red.)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email

Kontributor →

Kontributor kicknews

Artikel Terkait

OPINI