kicknews.today – Wali Kota Bima H A Rahman mengakui kerusakan hutan di wilayah hulu makin parah dan mengkhawatirkan. Bahkan mantan Anggota DPR Provinsi NTB itu menyoroti lemahnya pengawasan KPH Maria Donggomasa terhadap kelestarian hutan di Kota dan Kabupaten Bima.
”Peran KPH Maria Donggomasa ini lemah, karena kita yang akan mendapatkan efek dari kerusakan hutan ini. Maka saya minta Camat, Lurah agar berkoordinasi dengan Babinsa dan Bhabinkamtibmas pada musim hujan ini pantau aktivitas masyarakat yang membuka lahan baru,” tegas Wali Kota Bima beberapa hari lalu.
Sorotan itu ditanggapi Kepala Balai KPH Maria Donggomasa, Ahyar, S.Hut, M.Ling. Dia mengaku, pernyataan Wali Kota Bima menyorot kerusakan hutan cukup solutif. Apalagi Wali Kota ikut memerintahkan camat dan lurah, untuk berkoordinasi dengan Babinsa dan Bhabinkamtibmas dalam pemantauan aktivitas warga yang membuka lahan baru.
”Ini berarti ada dukungan pemerintah daerah,” kata Ahyar dihubungi Kamis (6/11/2025).
Menurut Ahyar, bencana banjir tidak bisa dikaitkan dengan kondisi kawasan hutan. Ia juga mengungkap bahwa penyebab banjir di Kota Bima bukan hanya karena ada pembukaan lahan dalam kawasan.
”Kalau soal banjir di Kota Bima, kita tidak bisa hanya bicara kawasan hutan. Penyebab banjir bukan hanya karena adanya pembukaan kawasan hutan, tapi ada lahan tegalan miring masyarakat yang sangat luas berada di area hulu (di atas gunung) dalam kondisi gundul. Luasnya puluhan ribu hektar,” ungkap Ahyar.
Dengan demikian, Ahyar mengajak pemerintah daerah bersama-sama mencari solusi untuk menangani persoalan lahan tegalan masyarakat yang sudah gundul. Sementara untuk persoalan kawasan hutan, kaki dari BKPH Maria Donggomasa berkomitmen untuk menjaga dan memperbaiki serta akan mengambil tindakan tegas terhadap pelaku perusak kawasan hutan.
Ahyar juga memberikan sejumlah saran solusi terkait masalah tegalan miring milik masyarakat yang sangat luas dan gundul di wilayah hulu. Pertama, Pemda Kota maupun Kabupaten Bima perlu menginisiasi ada regulasi dalam bentuk Perbup, Perwali atau Perda yang mengatur tentang pengelolaan lahan tegalan masyarakat, terutama pola tanam.
”Jangan lagi ada monokultur jagung. Bagi yang tidak patuh, misalnya bisa dicabut SPPT-nya,” ujar Ahyar.
Kemudian, masing-masing pemilik tegalan miring membuat teras gulud (Bahasa Bima: Kantolo) di hamparan lahannya. Hal ini untuk menjebak air hujan supaya tertahan dan menyerap ke dalam tanah dan tidak terjadi erosi maupun banjir.
Selain itu, pemilik tegalan miring harus menanam tanaman keras, terutama yang multipurpose atau produktif. Hal ini juga untuk menciptakan komoditi alternatif yang bernilai ekonomi sebagai pengganti jagung.
”Jadi kalau sudah ada regulasi pemda berupa Perbup, Perwali atau Perda yang mengatur pola pemanfaatan lahan tegalan, maka camat, lurah, babinsa maupun bhabinkamtibmas bisa menjadi pengawas implementasi regulasi tsb. Sementara Polhut atau KPH akan fokus mengurus areal dalam kawasan hutan,” pungkasnya. (jr)


