Oleh: Andi Fardian, M.A
Pertanyaan sederhana: “Adakah tim sukses yang konsisten dan berani berkata benar atau salah pada pemimpin yang didukungnya? “Adakah tim sukses yang tidak menjilat?” Semoga pertanyaan ini reflektif bagi setiap orang yang sedang atau akan terlibat pada politik praktis. Lalu, mengapa mereka harus menjilat? Pertanyaan ini mudah dijawab, tapi membutuhkan perenungan yang mendalam. Lalu muncul pertanyaan lanjutan, “Mengapa mereka mengorbankan harga diri dan kemampuan profesional dengan kepentingan sesaat?” Tidak sedikit akademisi yang, ketika terlibat sebagai tim sukses, kehilangan kejernihan peran profesional dan objektifnya karena terjebak dalam pragmatisme politik. Mereka tiba-tiba suka memuji dan melunak. Sungguh sangat disayangkan. Saya selalu membayangkan tim sukses tetap menjaga idealismenya, dan tidak mengonversi idealisme itu menjadi kompromi dan lama-kelamaan berubah warna menjadi kebiasaan menjilat demi bertahan lingkaran setan.

Saya tertarik untuk mengawali tulisan ini dengan sebuah kutipan dalam film Scarface (1983). Tony Montana (Al Pacino) berkata begini, “The only thing in this world that gives orders is balls.” (Satu-satunya hal di dunia ini yang bisa memberi perintah adalah keberanian). Barangkali ini cocok untuk menggambarkan peran ideal tim sukses yang memiliki keberanian untuk selalu mengingatkan dan mengkritik figur yang mereka dukung. Tapi, adakah tim sukses yang berani berkata jujur pada pemimpin? Adakah dari mereka yang berani berkata, “Bapak salah. Sebaiknya bapak begini.” Mereka takut kehilangan periuknya dan perutnya kelaparan. Mereka takut kehilangan bagiannya. Tapi mereka lupa, akibat jangka panjangnya adalah rakyat-lah yang dirugikan dan dikorbankan dari sikap buruk tersebut.
Sebagian dari mereka yang menjadi tim sukses adalah orang-orang yang sebenarnya memiliki kapasitas dan kompetensi akademik-kesarjanaan yang mumpuni. Banyak dari mereka itu pintar dan cerdas. Sebagian dari mereka juga cerdik dan sedikit licik karena belajar politik sedikit per sedikit. Seandainya mereka menggunakan itu untuk mempertajam daya dan pikiran kritis pada figur yang didukungnya, saya yakin figur tersebut akan memiliki teman yang selalu mengingatkan ketika keluar dari rel.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dipilih bukan karena tidak memiliki kekurangan. Tapi bisa jadi karena demokrasi adalah yang dianggap terbaik dari yang terburuk. Tapi sistem pemerintahan mana pun pasti memiliki kekurangan. Otoritarianisme, monarki, totalitarianisme, komunisme, teokrasi, oligarki, aristokrasi, plutokrasi, dan lain sebagainya memiliki kelebihan dan kekurangan. Mungkin saja otoritarianisme adalah yang paling cocok diterapkan di Indonesia karena masyarakatnya kepala batu dan ngeyelan, tapi, toh, demokrasi dianggap paling baik.
Ketika memilih demokrasi dengan segala kekurangannya, akan ada banyak bias politik sebagai konsekuensi yang menyertainya. Pemimpin dipilih karena suara terbanyak. Tapi praktiknya hari ini, pemimpin terpilih karena banyak modal dan uangnya. Meski demikian, tetap saja pada prinsip dan pikiran positif, kendati pemimpin yang terpilih itu adalah yang banyak uangnya, orang-orang berharap dia akan mampu membawa perubahan yang lebih baik untuk kemaslahatan umat. Mungkingkah begitu? Menurut ngana?
Tim sukses adalah salah satu konsekuensi yang lahir dari sistem demokrasi tersebut. Ketika ada pertarungan politik, figur-figur calon pemimpin tidak bisa berjalan sendirian. Mereka membutuhkan tim sukses yang membantu proses dan jalan menuju kemenangan. Tim sukses dibutuhkan, salah satunya, untuk memberi saran dan juga petunjuk terhadap visi dan program yang akan ditawarkan pada rakyat.
Seperti yang saya sampaikan, sebagian dari orang-orang di tim sukses adalah yang memiliki kompetensi kesarjaanaan yang mumpuni. Dengan itu, mereka bisa memberi saran prefesional terhadap program-program yang diajukan oleh calon pemimpin yang didukungnya. Tapi sayangnya, ketika figur yang mereka dukung memenangkan pertarungan, sikap kritis dan kemampuan profesional itu tiba-tiba terkaburkan oleh sikap menjilat. Semua itu demi meraih posisi dan menjaga citra baik di muka pemimpin, dengan harapan pemimpin memberi imbalan atas jilatan tersebut.
Tim sukses adalah mereka yang paling dekat dengan pemimpin. Mereka memiliki waktu dan kesempatan untuk tetap memberi bisikan kritis terhadap pemimpin agar tetap berada pada jalur yang benar. Hanya saja peluang dan kesempatan itu tidak digunakan dengan tepat untuk memberi masukan. Tim sukses tiba-tiba kehilangan keberanian untuk berkata apa adanya. Mereka bersikap Asal Bapak Senang (ABS). Yang mereka sampaikan pure pujian yang berlebihan, seolah-olah pemimpin tidak memiliki kekurangan. Keluhan-keluhan rakyat tidak ter-deliver dengan baik dan benar. Akibatnya, pemimpin—apalagi yang suka dipuji dan dibuat senang dengan sikap ABS—akan menganggap seolah-olah tidak terjadi apa-apa pada rakyat.
Tim sukses sering kali membuat batasan dan jarak antara pemimpin dengan rakyat. Mereka menghalangi pemimpin untuk mendengarkan aspirasi dan keluhan rakyat. Tidak jarang juga rakyat dibenturkan dengan pemimpinnya. Semua ini karena budaya menjilat yang menahun. Sebenarnya sikap tersebut bukan karena mereka, para tim sukses ini, peduli pada pemimpin, apalagi rakyat, tapi mereka takut kehilangan posisi dan periuknya.
Tidak sedikit kepemimpinan mengalami deadlock karena sikap tim sukses keliru memaknai loyalitas. Mereka menanggap loyalitas berarti memuji dan pandai menyenangkan hati pemimpin. Padahal, pujian dan jilatan akan membuat pemimpin lupa tugas utama menjadi pelayan rakyat. Banyak pemimpin jatuh karena senang dan terlena dengan sikap ABS bawahan dan tim suksesnya.
Andai tim sukses tidak menjilat, mereka akan tetap kritis pada pemimpinnya. Mereka berani menyampaikan ini salah, itu benar. Kepedulian tim sukses adalah dengan terus menjaga kewarasan dan jiwa kritisnya. Saya yakin tim sukses yang berani berkata apa adanya akan menyelamatkan pemimpin dari kejatuhan. Andai tim sukses tidak menjilat, mereka akan justru membuat pemimpin dengan rakyat tidak berjarak. Mereka juga bisa menjadi mata dan telinga rakyat yang mengeluh dan menghadapi pelbagai persoalan. Andai tim sukses tidak menjilat, semua aspirasi dan bahkan umpatan dan caci makian rakyat pada pemimpin akan disampaikan dengan apa adanya pada pemimpin. Andai … andai … andai.
Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengutip sebuah monolog dalam film V for Vandetta (2005), “People should not be afraid of their governments. Governments should be afraid of their people.” (Rakyat tidak seharusnya takut pada pemerintah. Pemerintahlah yang harus takut pada rakyatnya).*