kicknews.today – Penyaluran Bantuan Langsung Tunai Kesejahteraan (BLTS) kembali memunculkan polemik di tengah masyarakat. Selain dinilai belum menyentuh seluruh warga kurang mampu, distribusi bantuan tersebut juga dipersoalkan karena Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Lombok Utara (KLU) tidak memiliki kewenangan penuh dalam menentukan siapa yang berhak sebagai penerima.
Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos PPPA) KLU, Faturrahman mengatakan, masalah utama muncul akibat sistem pendataan yang tidak sepenuhnya berada dalam kontrol daerah. Menurutnya, daftar Keluarga Penerima Manfaat (KPM) sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah pusat melalui sistem milik Kementerian Sosial.

“Penentuan penerima dan pengganti sepenuhnya kewenangan pusat melalui Pusdatin Kemensos, karena posisi daerah yang serba terbatas,” ujarnya, Selasa (02/12/2025).
Kondisi ini membuat Pemda KLU tidak dapat serta-merta mengganti nama penerima BLTS, meskipun ditemukan kasus warga yang dinilai tidak layak menerima bantuan. Proses penggantian nama dilakukan otomatis oleh sistem pusat berdasarkan pemeringkatan desil kesejahteraan.
“Kami tidak bisa memasukkan nama baru secara manual, semua harus melalui proses pemeringkatan desil 1–5 oleh sistem di pusat dengan kuota bantuan yang sangat terbatas,” jelasnya.
Berdasarkan data Pemda, jumlah KPM penerima BLTS Kesra di Lombok Utara mencapai 60 ribu orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 26 ribu KPM merupakan kategori non-bansos. Namun besarnya angka itu tidak sebanding dengan kuota yang diberikan pemerintah pusat, sehingga masih banyak warga miskin yang tercecer dan belum terakomodasi sebagai penerima bantuan.
Situasi ini menjadi salah satu faktor pemicu ketegangan di masyarakat. Banyak warga yang mempertanyakan akurasi data dan mekanisme pemilihan KPM yang dirasa tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan.
Menanggapi keresahan publik, Pemda KLU meminta masyarakat yang belum terdata agar berkoordinasi dengan pemerintah desa untuk proses pendataan ulang. Faturrahman menegaskan, daerah hanya dapat melakukan verifikasi awal, sementara keputusan akhir tetap berada di pemerintah pusat.
“Semua proses berbasis data nasional. Daerah tidak bisa serta-merta menambah nama tanpa keputusan pusat,” tutupnya. (gii)


