Oleh: Hasmi Suci
Membicarakan sejarah Indonesia berarti berbicara tentang mozaik besar yang penuh warna: prestasi, konflik, dan perdebatan. Dan di antara tokoh-tokoh yang paling sering menjadi perbincangan hangat adalah Jenderal Besar Soeharto. Namanya seolah hidup di dua dunia: dunia yang mengenangnya sebagai Bapak Pembangunan, serta dunia yang mengingat masa Orde Baru dengan deretan kontroversi, luka sejarah, dan perebutan tafsir yang tak pernah benar-benar selesai. Sejak kejatuhannya pada 1998, Soeharto menjadi figur yang disorot tajam, diperdebatkan tanpa henti. Namun justru karena itulah, saya merasa penting melihat kembali sosok beliau dengan cara yang lebih utuh – tidak hanya dari sisi gelap atau terang saja, tetapi keduanya sekaligus.

Soeharto muncul sebagai aktor penting sejak masa revolusi. Salah satu jejaknya yang paling terkenal adalah keterlibatannya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, aksi militer yang memperlihatkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih berdaulat meski Belanda menguasai Yogyakarta. Serangan ini tidak hanya mengangkat moral rakyat, tetapi juga menjadi bukti nyata bahwa Indonesia belum runtuh. Di masa awal Orde Baru, perannya sebagai Panglima Kostrad ketika G30S/PKI terjadi membuatnya tampil sebagai figur stabilitas, terutama ketika ideologi komunis dianggap sebagai ancaman langsung terhadap Pancasila. Tidak semua orang sepakat dengan narasi tunggal peristiwa itu, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa keputusan cepatnya kala itu sangat menentukan arah perjalanan bangsa. Sebagai mahasiswa yang belajar komunikasi dan sejarah melalui kacamata kontemporer, saya sering merasa bahwa generasi saya perlu punya keberanian untuk membaca ulang peristiwa seperti ini tanpa terjebak pada satu versi cerita saja.
Selain itu, Soeharto juga menjadi tokoh penting dalam Operasi Mandala, operasi militer untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Indonesia. Program ABRI Masuk Desa yang digagasnya memperlihatkan pendekatan pembangunan yang tidak hanya bertumpu pada kekuatan militer, tetapi juga pada keterlibatan sosial di tingkat desa. Seluruh rekam jejak awal ini menunjukkan bahwa Soeharto adalah bagian dari generasi yang membentuk fondasi awal Republik, generasi yang hidup dalam situasi penuh gejolak dan ancaman yang nyata terhadap kedaulatan negara.
Ketika kemudian ia menjadi presiden, Indonesia berada di titik kritis. Inflasi mencapai 650 persen, ekonomi kacau, dan ketidakstabilan politik membuat masa depan bangsa dipertanyakan. Pada kondisi inilah Soeharto membentuk reputasinya sebagai pemimpin yang fokus pada stabilitas dan pembangunan. Langkah-langkah pengetatan anggaran serta kebijakan stabilisasi ekonomi membuat inflasi menurun drastis dalam waktu relatif singkat. Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) menjadi tulang punggung pembangunan fisik di berbagai wilayah Indonesia. Banyak infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, sekolah, puskesmas yang dibangun pada masa itu. Bahkan hingga hari ini, beberapa fasilitas tersebut masih dipakai dan menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat.
Salah satu pencapaian besar pada masa itu adalah swasembada beras tahun 1984. Produksi beras nasional melonjak dan Indonesia mendapat pujian dari FAO sebagai negara yang berhasil memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Stabilitas politik yang ditekankan Orde Baru membuat roda pembangunan berjalan relatif konsisten selama lebih dari tiga dekade. Banyak generasi di Indonesia tumbuh di tengah suasana stabil dan teratur, suatu kondisi yang bagi sebagian orang mungkin dianggap kontra dengan dinamika demokrasi hari ini, namun bagi sebagian lainnya dikenang sebagai masa ketika fokus pembangunan benar-benar menjadi prioritas. Sebagai generasi yang tumbuh setelah era tersebut, saya kadang membandingkan cerita orang tua dengan realitas hari ini dan bertanya pada diri sendiri: apakah mungkin sebuah bangsa mencapai konsensus tanpa melihat masa lalunya secara jernih?
Namun sejarah bukan hanya soal prestasi. Masa Orde Baru juga menyisakan catatan yang tidak boleh dihilangkan. Tuduhan pelanggaran HAM, pembatasan kebebasan sipil, penghilangan paksa, hingga praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) adalah bagian nyata dari memori kolektif bangsa. Banyak orang menjadi korban dari kebijakan yang represif dan sentralisasi kekuasaan yang berjalan begitu lama. Luka ini tidak dapat dihapus dengan dalih keberhasilan pembangunan saja. Kritik terhadap Soeharto dan era Orde Baru merupakan pengingat bahwa kekuasaan yang terlalu lama berada pada satu tangan berpotensi menimbulkan penyimpangan. Di kampus, saya sering menemukan bahwa generasi muda kini lebih berani mempertanyakan narasi sejarah, dan itu adalah proses yang sehat dalam kehidupan berdemokrasi.
Tetapi di sinilah tantangannya yaitu bagaimana membaca sejarah secara adil? Bagaimana menilai seorang tokoh dengan seluruh kompleksitasnya tanpa jatuh pada glorifikasi maupun demonisasi? Apakah Soeharto layak dijadikan Pahlawan Nasional atau tidak, pertanyaan ini akan selalu dipengaruhi oleh pengalaman generasi yang berbeda-beda. Generasi yang mengalami represi mungkin menolak keras, sementara generasi yang tumbuh dalam stabilitas dan pembangunan masa Orde Baru mungkin melihat jasa-jasa yang menurut mereka luar biasa.
Bagi saya pribadi, menolak mengakui jasa Soeharto sama saja dengan menghilangkan sebagian bab penting dalam perjalanan bangsa. Namun menutup mata terhadap pelanggaran dan kesalahan yang terjadi juga bukan sikap yang bijak. Seorang pahlawan bukanlah manusia sempurna; ia manusia biasa yang melakukan jasa luar biasa. Dan Soeharto, bagaimanapun juga, meletakkan fondasi yang kuat bagi Indonesia sebagai negara berkembang, sekaligus meninggalkan pelajaran berharga tentang betapa pentingnya keseimbangan antara kekuasaan dan demokrasi.
Sejarah menuntut kita untuk jujur, yaitu jujur pada pencapaian, jujur pada kesalahan, jujur pada perjalanan panjang yang membawa bangsa ini sampai pada titik sekarang. Karena itu, saya berpendapat bahwa menilai Soeharto secara keseluruhan harus dilakukan dengan pikiran terbuka dan hati yang jernih. Tidak ada salahnya memberikan apresiasi terhadap warisan pembangunannya, selama kita juga tidak melupakan sisi-sisi penting yang menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya. Masa depan bangsa dibangun dari kemampuan kita membaca masa lalu tanpa kebencian dan tanpa fanatisme, tetapi dengan kejujuran dan keberanian menghadapi fakta sejarah dalam segala bentuknya. (*)


