kicknews.today – Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-17 Kabupaten Lombok Utara (KLU) yang dirangkaikan dengan Hari Anak Nasional (HAN) di Lapangan Tioq Tata Tunaq, Kecamatan Tanjung pada Rabu (23/07/2025) kemarin, tercoreng oleh dugaan pungutan liar (pungli) yang menyulut kemarahan publik.
Insiden memalukan itu bermula dari kekecewaan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) KLU dan sejumlah NGO pemerhati anak yang sejak awal telah aktif dalam rapat panitia HAN. Mereka mengaku tidak diberikan akses untuk menampilkan pertunjukan anak-anak di atas panggung utama, padahal anak-anak tersebut sudah berlatih intens selama lebih dari sebulan.

Yang lebih mengejutkan, dalam video yang beredar di media sosial, tampak perdebatan sengit antara pihak LPA dan oknum penyelenggara acara (EO). LPA melalui akun resmi Facebook-nya bahkan menuding adanya permintaan uang senilai Rp 1 juta jika ingin menggunakan soundsystem di panggung, dengan alasan kegiatan mereka tidak masuk dalam rundown resmi acara.
”Air mata mereka sudah tumpah. Itu bukan hanya karena batal tampil, tapi karena harapan mereka direnggut begitu saja,” tulis akun LPA KLU dalam unggahan tersebut.
Pernyataan LPA juga menjelaskan bahwa sejak awal Pemda Lombok Utara telah memberikan dukungan penuh terhadap pelibatan anak dalam peringatan HAN, bahkan menyediakan tempat dan waktu pelaksanaan. Namun pada hari H, anak-anak tidak bisa tampil karena tidak ada operator soundsystem di lokasi.
Sorotan tajam juga datang dari aktivis perempuan dan pegiat literasi anak, Nursyda Syam. Lewat akun media sosialnya, ia mengungkapkan bahwa lebih dari 50 anak dari berbagai komunitas telah berlatih menampilkan pertunjukan seperti tarian, puisi, kasidah, dongeng, hingga gamelan Sasak. Beberapa relawan bahkan datang dari luar daerah untuk mendampingi mereka tampil.
“Meski harus membayar Rp 1 juta atau bahkan lebih, kami sangat siap! Tapi tetap anak-anak tidak bisa tampil… Karena soundman tidak ada di tempat,” tulisnya geram.
Hingga berita ini diturunkan, Ketua Panitia Pameran Pembangunan, Dende Dewi Tresni, yang dikonfirmasi melalui telepon, belum memberikan tanggapan resmi.
Masyarakat berharap kasus ini segera ditindaklanjuti dan tidak terulang lagi, terutama dalam momen yang seharusnya menjadi panggung kegembiraan bagi anak-anak. Dugaan pungli dalam perayaan yang mengatasnamakan anak menjadi ironi menyakitkan, di tengah semangat perlindungan dan pemajuan hak-hak anak di daerah ini. (gii-bii)