Banjir Minggu (6 Juli 2025) seharusnya bukan lagi kejutan, tapi pertanda: Kota ini menuju titik kritis
kicknews.today – Mataram tak sedang bermimpi buruk, melainkan menjalani kenyataan yang pelan-pelan mengarah ke satu kata: tenggelam. Peringatan ini bukanlah isapan jempol atau retorika kosong. Dalam sebuah laporan yang pernah terbit di JPNN pada 2013, Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Mataram menyebut lebih dari 80 persen saluran drainase di kota ini mengalami pendangkalan. Dari total 439 kilometer jaringan drainase, sekitar 52 kilometer bahkan sudah dalam kondisi rusak berat.
“Saat ini saluran kita hanya berfungsi 40 hingga 50 persen. Banyak yang sudah dangkal dan tidak bisa lagi menampung debit air hujan secara optimal,” kata Kepala Bidang Pengairan PU Mataram saat itu, H. Lalu Martawang, seperti dikutip dari JPNN.com dalam ulasannya Minggu (6/10/2013) lalu. Ia menambahkan bahwa penumpukan sampah memperparah kondisi, “Masyarakat masih banyak yang membuang sampah ke saluran air. Akhirnya, setiap kali hujan deras, air meluap ke jalan dan permukiman.”

Lima tahun setelah peringatan itu, sebuah riset ilmiah yang lebih sistematis memperkuat kekhawatiran tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Yuslifar Artadi dari Program Magister Teknik Sipil Universitas Mataram, dan diterbitkan dalam International Journal of Civil Engineering and Technology (IJCIET) pada 2018, menunjukkan pemetaan lengkap zona rawan banjir di seluruh wilayah kota. Dengan pendekatan berbasis sistem informasi geografis (GIS), riset ini mengidentifikasi bahwa Kota Mataram terbagi ke dalam empat sistem drainase utama dengan tujuh sub-sistem yang terdiri dari 81 blok kawasan. Dari kajian tersebut, sebanyak 21 blok dikategorikan sebagai kawasan prioritas pertama atau zona paling kritis yang berpotensi mengalami banjir parah dan genangan air berkepanjangan.
“Dengan kegiatan zonasi daerah rawan banjir berbasis GIS, dapat diidentifikasi ruas-ruas jalan yang terkena dampak banjir di Kota Mataram,” tulis Yuslifar dalam penelitiannya. Ia juga menyebut bahwa data ini “dapat memberikan informasi penting kepada masyarakat, terutama yang tinggal di daerah rawan banjir, agar meningkatkan kesadaran terhadap bencana banjir dan penyesuaian penggunaan lahan secara cepat.”
Kawasan-kawasan seperti Udayana, Kekalik Jaya, Abian Tubuh, Karang Bedil, Kebon Roek, hingga Selaparang termasuk dalam daftar zona merah tersebut. Penilaian dibuat berdasarkan berbagai parameter seperti tinggi dan lama genangan, frekuensi banjir, kerugian ekonomi dan sosial, gangguan terhadap pelayanan publik dan aliran logistik, serta kepadatan penduduk. Data yang digunakan dalam riset ini bersumber dari peta dasar Bakosurtanal, data kependudukan BPS NTB 2016, data saluran drainase dari master plan pengendalian banjir, serta survei lapangan menggunakan GPS.
Riset ini mendapat penguatan langsung dari akademisi senior di bidangnya. Guru Besar Teknik Sipil Universitas Mataram, Prof. Ir. Didi S. Agustawijaya, M.Eng., Ph.D, menyatakan bahwa kejadian banjir yang melanda beberapa titik di Kota Mataram belakangan ini, persis seperti yang sudah dipetakan dalam riset 2018. “Artinya bahwa Kota Mataram telah terkondisikan untuk kejadian banjir seperti kemarin sore-malam,” tegasnya saat dikonfirmasi di Mataram, Senin (7 Juli 2025). Ia pun memperingatkan bahwa tanpa tindakan komprehensif, ancaman ini akan terus berulang. “Perbaikan sistem drainase kota harus betul-betul dilakukan secara menyeluruh untuk mitigasi bencana banjir berulang.”
Pertumbuhan pesat Kota Mataram telah mengubah wajahnya menjadi kota yang padat dan nyaris tanpa ruang resapan. Lahan-lahan terbuka yang dulu mampu menyerap air hujan kini berganti menjadi perumahan, pertokoan, dan jalan beton. Ironisnya, sistem drainase kota masih tertinggal jauh dari ritme pembangunan. Saat hujan deras mengguyur, air tak punya jalan keluar, dan kota pun kembali tergenang. Ini bukan lagi bencana, ini adalah siklus yang diciptakan sendiri oleh manusia.
Mataram berada di persimpangan penting: membenahi sistem drainasenya atau perlahan menerima nasib sebagai kota yang terus terendam setiap musim hujan datang. Riset ilmiah sudah memberi peringatan, lengkap dengan peta dan angka. Pemerintah tinggal bergerak. Masyarakat tinggal berubah. Karena tenggelamnya kota bukan hanya akibat air yang meluap, tapi karena niat yang mengering. Sebelum Mataram benar-benar menjadi kota yang ditinggalkan, bukan karena bencana, tapi karena kesalahan kolektif yang dibiarkan terlalu lama. (red.)