Oleh: dr. Tri Pamungkas Irawan
Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan mental adalah kondisi sejahtera seseorang ketika seseorang menyadari kemampuan dirinya, mampu untuk mengelola stres yang dimiliki serta beradaptasi dengan baik, dapat bekerja secara produktif, dan berkontribusi untuk lingkungannya. Gangguan mental adalah kondisi di mana seseorang terganggu dalam caranya berpikir, merasa, serta berperilaku. Gangguan ini bisa dialami sementara, atau sebagai suatu reaksi akut terhadap tekanan hidup. Menurut survei dari Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang mengukur kejadian gangguan mental remaja pada usia 10-17 tahun di Indonesia, menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Jumlah ini setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja.
Penelitian yang dilakukan oleh Dosen UGM Prof. Dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc., Sc.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) mendapatkan hasil bahwa gangguan mental yang paling banyak diderita oleh remaja adalah gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7%, diikuti oleh gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5%.
Regulasi yang mengatur kesehatan mental di Indonesia diatur dalam UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Mental. UU No. 17 Tahun 2023 menyatakan setiap individu berhak untuk mencapai kualitas hidup yang terbaik, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mempengaruhi kesehatan mental. Untuk menjamin hal tersebut, pemerintah daerah dan pusat berkewajiban untuk menyelenggarakan jaminan pelayanan kesehatan mental baik dari ketersediaan, aksesibilitas, mutu, dan pemerataan fasilitas pelayanan. UU No. 18 Tahun 2014 menjelaskan mengenai upaya untuk mengatasi gangguan mental dimulai dari promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Menjadi pasien dengan masalah gangguan mental merupakan hal yang tidak mudah. Selain mendapatkan stigma negatif dari masyarakat, biaya pengobatan yang dibutuhkan juga tidak sedikit. Pasien gangguan mental membutuhkan bantuan dari tenaga profesional. Untuk mengatasi masalah tersebut, sekarang BPJS Kesehatan sudah bisa digunakan untuk pengobatan pasien dengan masalah gangguan mental. Dengan tercovernya masalah gangguan mental oleh BPJS Kesehatan, ini akan sangat membantu para pasien karena membutuhkan lama perawatan yang tidak sebentar.
BPJS Kesehatan merupakan program asuransi kesehatan yang wajib untuk diikuti oleh seluruh masyarakat. Program ini diikuti oleh masyarakat yang mampu dengan membayarkan premi secara mandiri (Non-PBI) dan masyarakat yang kurang mampu dengan dibantu oleh pemerintah (PBI). Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Perlindungan yang ada dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) salah satunya adalah pelayanan kesehatan dengan gangguan mental. Fokus pelayanan kesehatan mental yang diberikan berupa promotif, preventif, rehabilitatif, dan kuratif. Untuk bisa mendapatkan bantuan dari tenaga profesional, perlu ada beberapa langkah yang dilakukan. Namun, tidak semua pasien paham, sehingga banyak yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai. Selain itu, pasien juga harus aktif dalam status kepesertaan BPJS. Hal ini menyebabkan banyak pasien dengan gangguan mental mengalami perburukan dan akhirnya masalah yang dialami menjadi semakin berat.
Pelayanan pasien dengan gangguan mental dimulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama. Terdapat salah satu program pemerintah di Puskesmas yaitu skrining kesehatan jiwa dari anak usia sekolah dasar sampai lansia. Program ini sebenarnya dapat menjadi ujung tombak perawatan pada pasien dengan gangguan mental. Karena semakin dini gangguan tersebut diketahui, maka akan semakin tepat penatalaksanaan yang diberikan. Pasien yang dilakukan skrining oleh petugas kesehatan akan dinilai status mentalnya. Pada umumnya, masalah gangguan mental tidak bisa terlihat dengan kasat mata. Diperlukan penilaian tersendiri untuk menyatakan bahwa seseorang mengalami masalah gangguan mental. Tidak seperti penyakit fisik, sebagai tenaga kesehatan, kita harus lebih waspada dan perhatian kepada individu yang mungkin terkena gangguan mental.
Pada fasilitas kesehatan tingkat pertama yaitu puskesmas, dapat dilakukan sesi konseling kepada pasien. Kemudian, dokter akan memberikan diagnosis sesuai dengan masalahnya. Jika masalah tersebut tidak dapat ditangani fasilitas kesehatan tingkat pertama, maka pasien akan dirujuk ke fasilitas kesehatan lanjutan. Pelayanan gangguan mental di fasilitas tingkat lanjutan berfokus secara kuratif dan rehabilitatif. Pasien-pasien mendapatkan terapi aktivitas atau terapi medikasi. Perawatan yang diberikan kepada pasien dengan gangguan mental pada umumnya memiliki jangka waktu yang panjang. Follow-up wajib dilakukan untuk mengurangi risiko kekambuhan pada pasien. Untuk bisa mendapatkan perawatan yang sesuai, pasien harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Pasien harus secara rutin meminta rujukan dari puskesmas untuk bisa berobat ke rumah sakit. Pasien yang enggan atau tidak paham dengan prosedur tersebut biasanya akan menghentikan pengobatan sendiri. Risiko pengobatan yang tidak selesai akan dapat mengakibatkan gangguan mental kambuh dan bahkan terjadi perburukan.